Senin, 02 Agustus 2010

Daftar isi:

Pengusaha sukses di Indonesia :

1. H Mustofa, Pengusaha Sukses yang Buta Huruf
2. Wildan, dari Asongan Jadi Pengusaha Sukses
3. Bob Hasan
4. Bob Sadino
5. Han Awal
6. Hary Tanoesoedibjo
7. Hasjim Ning
8. Ir. Ciputra
9. Dr. Charles Saerang
10. Eric FH Samola
11. Franciscus Welirang
12. Gunawan Pranoto
13. Iwan Tirta
14. Ida Bagus Tilem
15. Irwan Hidayat
16. Kartika Affandi
17. Sudono Salim (Liem Sioe Liong)
18. Lazarus Eduard Manuhua
19. Naomi Susilowati Setiono
20. Nanny Anastasia Lubis
21. Pandji Wisaksana
22. Putera Sampoerna
23. Paulus Indra
24. Retno Iswari Tranggono
25. Soedarpo Sastrosatomo
26. Sasongko Soedarjo (1948-2007)
27. Soeryo Goeritno
28. Soedarjo
29. Soebronto Laras
30. Tommy Winata






1. H Mustofa, Pengusaha Sukses yang Buta Huruf
SURABAYA - Maraknya pabrik pengecoran besi baja di Jawa Timur semakin memberi peluang bagus pada para pengusaha pemasok besi tua (besi bekas). Kebutuhan pabrik terhadap besi tua semakin besar, sehingga harga penjualan besi tua semakin bersaing H. Mustofa, salah seorang pengusaha pemasok besi tua yang tinggal di Jl. Sidorame 30 Surabaya, mengatakan paling tidak saat ini dirinya memasok empat perusahaan pengecoran besi, yakni Hanil di Waru Sidoarjo, Ispatindo, Jatim Taman Steel, dan Maspion Grup. “Jika harganya cocok, saya langsung pasok besi tua untuk pabrik-pabrik itu. Terserah mereka minta berapa, akan saya penuhi,” kata H. Mustofa dengan logat Madura yang sangat kental. Untuk Pabrik Hanil saja, dirinya seminggu ditarget memasok 500 ton per minggu. “Kalau hanya minta 500 ton per minggu, mudah saya penuhi. Dua hari ini saja saya sudah memasok pabrik itu 300 ton. Jadi target 500 ton bisa saya penuh hanya dalam waktu 3 atau 4 hari saja,” kata H. Mustofa, yang juga Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Besi Tua Indonesia (Aspebi). Pasokan untuk 4 pabrik, lanjut Mustofa, bisa sampai 8.000 ton per bulanGuna memenuhi target dari empat pabrik yang dipasoknya, H. Mustofa mempekerjakan tidak kurang dari 700 orang. Mereka disebar di hampir seluruh pelosok Indonesia, seperti di Jember, Semarang, Bandung, Samarinda, Sampit, Palu, Balikpapan, Ujung Pandang, Papua, NTBm dan NTT. “Setiap dua hari mereka mengirim besi tua dengan kontener menuju Tanjung Perak. Dari Tanjung Perak, langsung kami kirim ke pabrik. Jadi tidak perlu masuk gudang,” tandas bapak tiga anak ini. Dari para karyawannya, H Mustofa membeli besi tua tersebut dengan harga antara Rp 2.250 – 2.300/kg untuk jenis yang bagus. Untuk jenis di bawahnya, dibeli dengan harga Rp 2.000. harga tersebut sudah termasuk biaya transportasi sampai ke pabrikPenjualan di pabrik pengecoran besi, H. Mustofa “hanya” mendapatkan keuntungan Rp 25-30/kg. Kalau dalam satu bulan rata-rata bisa memasok 8000 ton, berarti keuntungan yang didapatkan tiap bulan bisa mencapai Rp 200 juta lebih. Tukang TimbangKeberanian H. Mustofa ini tidak terlepas dari pengalaman hidupnya yang panjang sehingga ia menjadi pengusaha besi tua yang terbilang cukup sukses. Saat remaja, dia hanyalah kuli angkat besi tua di tempat penampungan besi tua milik Padli, pamannya. Ketika pamannya mulai tua, terpaksa ia harus mandiri dengan menjadi tukang timbang besi tua yang setiap hari mangkal di Jalan Sidorame, Surabaya. H. Mustofa ternyata tidak mau hidupnya hanya menjadi tukang timbang. Lewat keahliannya menaksir harga besi tua, ia nekat meminjam uang pada H. Kolik, pengusaha besi tua di daerah tersebut sebesar Rp 125 juta untuk membeli sebuah kapal perang bekas Pramasta pada tahun 1986. Ternyata, ia harus menanggung kerugian sebesar Rp 16 juta. Sebab ia meleset menaksir harga kapal tersebut. Bukannya kapok, kegagalan itu justru membuat semangat H. Mustofa semakin terlecut. Ia kembali pinjam uang ke H. Kolik untuk membeli kapal tangker dari Singapura. Ternyata penaksirannya kali ini cukup jitu, sehingga ia bisa meraup keuntungan Rp 4 juta. “Saya masih ingat saat mengawali karier sebagai pengusaha besi tua dengan membeli sebuah kapal yang karam di perairan Madura. Meski tidak tahu betul bentuk kapal yang karam itu, saya berani membelinya. Saya saat itu nekat. Jika berhasil mengangkat kapal, hasilnya sangat besar. Tetapi jika gagal, saya bisa rugi ratusan juta rupiah,” kata H. Mustofa, yang asli kelahiran Bangkalan, Madura, 30 Juni 1952 itu.
Akhirnya nasib baik berpihak kepadanya karena kapal yang karam tersebut berhasil diangkatnya. Keuntungan yang sangat besar berada di depan mata. “Dari keuntungan penjualan besi kapal itulah membuat saya sampai saat ini menjadi pengusaha besi tua. Kalau saya hitung hingga saat ini sudah lebih dari 50 kapal yang pernah saya beli,” tambahnya.

Mencari Besi ke Irak
Sebagai orang yang memiliki naluri bisnis tinggi, H Mustofa tidak cepat puas dengan kondisi saat ini. Ia juga berpikir untuk melakukan ekstensifikasi pencarian besi tua sampai ke negeri Irak.
“Saat perang Irak dua tahun lalu, saya sempat mengirimkan tiga orang anak buah saya ke Irak. Sebab saya melihat setelah serangan Tentara AS di Irak, dimana banyak gedung rusak, banyak menara-menara yang runtuh, menjadikan saya tertarik untuk membeli besi tua dari negara Arab tersebut,” katanya. Tetapi sayang, tambahnya, pihaknya kesulitan untuk melakukan pembelian besi tua di sana. Selain itu, perjalanan menuju laut sangat jauh, apalagi sarana dan prasarana transportasi di Irak sulit didapat. “Akhirnya saya batalkan, meskipun saat itu sudah saya siapkan dana yang cukup besar untuk membeli besi tua dari Irak,” jelasnya. Meskipun demikian, H. Mustofa mengaku tak kecewa, karena hal itu merupakan sebuah risiko dari seorang pengusaha. “Paling tidak, saya sudah menjalin hubungan dengan orang-orang di sana, sehingga suatu saat pasti ada manfaatnya,” tandasnya. Meski tergolong pengusaha yang cukup sukses, H. Mustofa terlihat sangat sederhana. Hampir semua urusan pekerjaan ia percayakan pada karyawannya, khususnya manajemen CV Sampurna. Sebab hingga saat ini, H. Mustofa mengaku buta huruf.
“Sejak kecil saya hidup miskin, sehingga harus bekerja membantu orang tua. Jadi, sejak kecil saya tidak pernah sekolah, tidak pernah belajar membaca atau menulis. Saya ini buta huruf,” akunya dengan lugas. Meskipun demikian, ia berusaha agar anak-anaknya menjadi orang yang pandai dan sukses di bidang pendidikan dan bisnis. Karena itu, tiga anaknya selalu ia sekolahkan, tambahan bahasa asing dan berbagai kursus. Dalam waktu dekat, Lilik, salah seorang anaknya yang telah lulus S1 bidang hukum, akan melanjutkan pendidikan S2 bidang hukum di Belanda. Lantas, apa kunci H. Mustofa agar bisa menjadi pengusaha besi tua yang sukses? “Pengusaha besi tua itu enak, karena sampai kapanpun besi tua selalu ada, tidak pernah mati. Meski buta huruf yang penting punya hati yang bersih, jujur, dapat dipercaya orang dan kalau perlu harus nekat dalam mengambil suatu keputusan,” kata H. Mustofa.
















2. Wildan, dari Asongan Jadi Pengusaha Sukses

JAKARTA, JUMAT - Menjadi orang sukses adalah pilihan hidup setiap orang yang mau berusaha. Pemikiran itu yang membawa Wildan, pria berumur 38 tahun, sukses menjalankan beberapa bisnis sekaligus. la membuka bengkel jok mobil Mr. Seat, bengkel knalpot, menjual pisang goreng pasir Pisangku, dan menciptakan kompor hemat bahan bakar.
Kerja keras dan terus menciptakan inovasi dalam berbisnis membuat seorang anak daerah dari Lampung bernama Wildan sukses menaklukkan ibukota. Saat ini, ia telah memiliki bengkel jok mobil yang sudah dikenal luas kualitas dan inovasinya. Namanya Mr. Seat di daerah Jl. Pangeran Antasari, Cipete, Jakarta Selatan.
Dalam sebulan, Wildan mengaku bisa mengantongi omzet dari pesanan jok mobil antara Rp 200 juta hingga Rp 300 juta. Ia sering mengikuti pameran-pameran mobil dengan memamerkan kreasi jok mobil nyeleneh. "Saya pernah membungkus satu badan luar mobil Avanza baru dengan jok kulit buatan sendiri," kenangnya.
Di samping itu, Wildan memiliki bengkel knalpot dan AC yang bersebelahan dengan lokasi bengkel Mr. Seat. Tidak hanya itu, sejak dua tahun silam, ia menjajal peruntungan dengan menjual pisang goreng pasir yang kala itu menjadi tren. Ia menamakan pisang pasirnya dengan merek Pisangku. Dari enam gerai miliknya, Wildan mengaku bisa menjual hingga 4.000 potong pisang goreng per gerai setiap akhir pekan. Pada hari biasa, rata-rata penjualannya 2.000 pisang.
Untuk bisa menghemat ongkos produksi pisang pasirnya, Wildan mencoba menciptakan kompor hemat bahan bakar yang membuat proses penggorengan lebih cepat. Kompor bikinannya ini memiliki banyak semburan mata gas sehingga membuat wajan cepat papas. "Dengan menggunakan kompor ini, kami bisa mengefisiensikan bahan bakar dan menambah kapasitas penggorengan," ujarnya.
Pencapaiannya itu tidak begitu saja dia dapatkan dalam sekejap mata. Ia bahkan tidak menyangka bisa sesukses sekarang. "Semua ini anugerah dan kehendak Tuhan sehingga saya bisa sesukses seperti saat ini," ujarnya merendah.Padahal, pada tahun 90-an, Wildan belum menjadi apa-apa. Ia bahkan tidak sempat menyelesaikan kuliahnya di Lampung lantaran harus segera menghasilkan uang agar bisa melanjutkan hidup secara mandiri. la sempat menjual kartu-kartu ucapan di daerah Blok M sementara belum memiliki pekerjaan tetap. "Saya sering tidur di gudang-gudang daerah Aldiron karena tidak memiliki tempat tinggal tetap," kenangnya.
Kala itu, untuk mencari pekerjaan lebih layak, selain menjadi penjual kartu ucapan, Wildan juga nyambi menjadi tenaga penjual (salesman) alatalat rumah tangga. "Saya menjalani pekerjaan tersebut sebaik-baiknya walaupun sebagai tukang jualan alat rumah tangga dari rumah ke rumah sering mendapat penolakan," kenangnya. Melakoni profesi sebagai tenaga penjual alias salesman alat-alat rumah tangga, Wildan sempat menjadi supervisor. la mulai menabung hasil jerih payahnya. Malang tak bisa ditolak, perusahaan tempat ia bekerja bangkrut. Wildan harus mencari tempat kerja lain agar bisa bertahan hidup.
Tuhan memberi jalan. Dari koneksi sang kakak, Wildan mendapat pekerjaan di sebuah perusahaan jasa pembebasan tanah. "Saya waktu itu sempat membebaskan tanah di Bali dan Lombok," ujarnya.Perlahan tapi pasti, tabungan Wildan mulai terkumpul. Tabungan ini kemudian ia jadikan modal membuka bengkel knalpot dan mesin penyejuk udara alias air conditioner (AC). "Waktu itu, abang Saya juga sudah lebih dulu membuka bengkel yang sama, tidak jauh dari bengkel saya. Lalu, kami patungan mendirikan bengkel, saya ditugasi untuk mengelolanya," ujar Wildan.
Awalnya bisnis ini tak gampang. Wildan sempat putus asa, sebab ternyata peminat bengkelnya sangat sedikit. Sepi dan terus merugi. Saking frustrasi, sempat terbersit menjual tanah tempat bengkelnya berdiri. Untung langkah ini urung lantaran penawaran harganya sangat rendah. "Mungkin sudah takdir saya tidak boleh menjual bengkel itu," ujar Wildan.Tawaran lain datang. Tak seberapa lama, ada seseorang yang ingin bekerjasama membuka usaha jok mobil. Wildan diminta menyediakan tempat dan mencari pesanan, sang rekan mengerjakan pesanan jok mobil. Tapi, lagi-lagi, rencana ini tidak berjalan lancar. Sebab, mitranya selalu mangkir dari tenggat penyelesaian pesanan.
Wildan lantas memutuskan kerjasama. Tapi, satu dari tiga pegawainya menyarankan terus menjalankan bisnis jok ini. Awalnya, ia sempat ragu, sebab ia tidak mengerti sama sekali bisnis jok mobil dan otomotif. Untunglah, sang pegawai yang sudah piawai mau membantu. Wildan mencoba menginvestasikan uangnya dengan membeli bahan-bahan jok. la memberi nama usahanya dengan sebutan Mr. Seat pada tahun 2002. Tapi, usahanya tetap saja sepi.Wildan belum menyerah. la lalu berusaha mengamati dan mempelajari bagaimana menjalankan usaha jok mobil di tempat lain yang lebih ramai peminat. Selain itu, ia rajin mempelajari teknik pemasangan jok dari media massa. Berbekal ilmu yang didapat, Wildan lalu menerapkannya. la memasang strategi lain: beriklan dengan janji kualitas bagus dan harga miring.
Ternyata, dengan memberi diskon dan gebrakan saat membuka bengkel jok, Mr Seat mulai dikenal orang dan lama kelamaan banyak orang yang datang mengganti jok. "Saya sempat banting harga jok mobil sedan menjadi Rp 1 juta. Padahal, di bengkel lain, saat itu harganya Rp 1,6 juta," kenang Wildan.Tidak hanya itu, Wildan juga membuat terobosan dalam berpromosi, yaitu dengan membungkus body mobil dengan kain jok. Setelah itu, ia menambah bola besar dari kulit jok di badan mobil. Tuiuannya, mencuri perhatian masyarakat terhadap merek Mr. Seat. Hasilnya, masyarakat benarbenar tertarik dan memutuskan mengganti jok di Mr Seat.
Namun, kesuksesan bisnis bengkel jok Mr. Seat tidak lantas membuat Wildan berpuas diri. Pada tahun 2005, bisnis pisang goreng Pontianak tiba-tiba populer di Jakarta. Jiwa bisnis Wildan mendorongnya menjajal peruntungan di bisnis ini juga. Pada awal 2006, Wildan mulai membuat pisang goreng premium dengan merek PisangKu di Bintaro, Tangerang. Kebetulan, ia pernah berjualan pisang goreng sejenis itu di Lampung, meskipun mandek dan gagal. Nah, agar tidak gagal lagi, sebelum membuat PisangKu, Wildan sempat mengantre membeli Pisang Goreng Pontianak yang sudah lebih dulu populer. "Tapi, saya khawatir usaha ini akan cepat mati. Sebab, mereka sangat terbuka soal resepnya sehingga sangat mudah ditiru orang," ujar Wildan.
Faktanya, banyak sekali pisang pasir goreng sejenis bermunculan. Makanya, Wildan akhirnya membuat resep rahasia dengan pemilihan pisang dari Lampung, bukan dari Pontianak. "Sampai sekarang, karyawan saya tidak pernah tahu resep pembuatan pisang goreng pasir Saya tersebut," kata Wildan. Wildan mengaku, kegigihannya dalam menjalankan bisnisnya lahir dari perjalanan hidup sejak kecil. Waktu itu, Wildan harus membantu perekonomian keluarga dengan berdagang teh kotak dan tisu dari bus ke bus saat masih bersekolah di Lampung. Bahkan, ia sempat berjualan bakwan dan es. "Dari sana, saya tahu bahwa manusia harus berusaha jika ingin berhasil," ujamya.Saat ini, Wildan bisa membawahi ratusan pekerja di bengkel maupun gerai PisangKu. Kedepan, ia bercita-cita menciptakan makanan murah meriah tapi memiliki keunikan yang bisa menjadi tren di Jakarta. "Masih saya pikirkan jenis makanan apa. Yang jelas, saya akan menjaga bisnis saya terus berjalan," ujarnya


3. Bob Hasan
Raja Kayu dan Atletik
Nasib mujur masih berpihak pada Bob ‘Raja Kayu’ Hasan. Masa pengucilannya di penjara yang terkenal seram, LP Batu Nusakambangan, dipersingkat dari enam tahun menjadi tiga tahun. Karena berkelakuan baik, Bob diberi pembebasan bersyarat oleh Dirjen Pemasyarakatan Suyatno. Di balik terali besi pun, Bob menjadi motor penggerak para narapidana berkarya kerajinan batu mulia

Bob divonis enam tahun penjara oleh pengadilan karena tersangkut perkara korupsi. Semestinya Bom bebas bersyarat 11 Desember 2003. Namun keterlambatan proses administratif memperpanjang keberadaan Bob di LP Nusakambangan, penjara buat penjahat kelas kakap yang diwariskan pemerintah kolonial Belanda.

Bob, di era orde baru merajai bisnis perkayuan berkat kedekatannya dengan mantan Presiden Soeharto. Di antara puluhan konglomerat hitam di era Pak Harto, hanya Bob yang terkena jeratan hukum.

Kediaman Bob di Jalan Senjaya I Nomor 9 Kebayoran Baru, Jakarta, tampak lebih ramai di hari kebebasan Bob. Mobil-mobil mewah keluar-masuk dari rumah besar yang di dalamnya ada lapangan tenis dan kolam renang. Hari kebebasan Bob bersamaan dengan pengajian Jum’atan anggota Yayasan Iqra Qurani, dan puluhan anak asuh keluarga Bob.

Selain pengusaha, Bob dikenal sebagai tokoh olahraga. Meskipun baru lepas dari penjara, Bob masih dipercaya memimpin Pengurus Besar Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PB PASI) sampai tahun 2008. Bob memegang jabatan itu selama tujuh periode berturut-turut sejak tahun 1976.

Memang jatuh bangunnya dunia atletik tidak bisa dipisahkan dari sosok Bob, anak angkat mendiang Jenderal Gatot Subroto. Gatot Subrotolah yang memperkenalkan Bob pada Pak Harto. Bob, meskipun hanya tiga bulan, pernah duduk di kursi Menteri Perindustrian dan Perdagangan.

Pengrajin Batu Mulia
Di balik terali besi pun, Bob masih mampu menjadi motor yang menggerakkan motivasi para narapidana. Kerajinan batu mulia di LP Batu Nusakambangan maju pesat berkat keteladanan dan kepiawaian Bob. Ia menggunakan uangnya untuk memajukan kerajinan yang memberi ketrampilan dan pekerjaan bagi para Napi. Di dalam penjara pun, Bob masih memimpin puluhan perusahaannya.

Kerajinan batu mulia sebenarnya sudah lama dirintis di penjara tersebut, tetapi dikerjakan sambil lalu. Batu mulia yang diproses para napi diambil dari kerikil sungai di kawasan Pulau Nusakambangan. Dengan peralatan seadanya, para napi memproses kerikil tersebut menjadi batu cincin dengan bentuk ala kadarnya.

Kehadiran Bob selama tiga tahun di Nusakambangan langsung membawa angin segar bagi para Napi dan petugas LP. Sebagai seorang tokoh berpengaruh, naluri positif Bob Hasan langsung bekerja.

Bob membiayai keberangkatan dua staf LP ke Bandung. Mereka membeli seperangkat mesin batu mulia, dari yang tradisional sampai yang menggunakan tenaga listrik. Sesampai di penjara peralatan tersebut ditiru dan diperbanyak. Sebanyak 40 Napi direkrut di antara 160 Napi, dilatih ketrampilan membuat batu mulia. Mereka menjadi pekerja bengkel batu mulia.

Mereka diberi imbalan jasa Rp 4.500 setiap hari, di mana Rp. 500 harus ditabung, Rp 500 untuk beli susu penambah gizi, Rp 500 untuk mencicil sepatu dan sisanya diserahkan ke koperasi LP. Bahan mentah yang diproses adalah obsidian warna-warni. Dengan desain yang sangat sederhana, produk LP Batu Nusakambangan yang diberi merek dagang Island Jewels dan embel-embel, exotic crystals from the heart of volcano atau eksotik kristal dari jantung gunung api, langsung menembus pasar domestik dan internasional.

Bob menyadari bahwa batu mulia yang diolah bukanlah batu mulia asli, tetapi batu mulia tiruan yang dihasilkan pabrik kaca. Yang jadi masalah, produk Island Jewels sudah terlanjur merebut hati para penggemarnya. Hampir saja Bob menutup bengkelnya. Tetapi tidak ia sampai kehilangan akal. Bob mendatangkan bahan baku batu mulia asli dari India. Bengkelnya bergairah kembali, para karyawannya tidak kehilangan pekerjaan. Bengkel Bob malah menambah karyawan dari 40 menjadi 60 Napi.

Tetapi bagaimana nasib bengkel itu setelah kebebasan Bob? Mungkin Bob tetap membina mereka dari luar penjara. Cabang-cabang produksi batu mulia merebak di Cilacap dan Pacitan, memberi sumber penghidupan bagi banyak orang. Bob tetap diharapkan oleh para pengrajin tidak melupakan kerajinan batu mulia. Yang disayangkan, Indonesia mengalami kelangkaan bahan baku karena batu mulia mentah mengalir deras ke luar negeri.

Tetap Dihormati

Naluri Bob tidak berubah, baik ketika berada di luar maupun di balik tembok penjara. Ia pandai membuka peluang, kemudian mengembangkannya menjadi bermanfaat bagi banyak orang.

Bob (73) juga pernah menjadi Ketua Umum PB PABBSI (angkat besi), PB Percasi (catur), PB Persani (senam) dan Presiden Asosiasi Atletik Amateur Asia (AAAA). Kini ia masih tercatat sebagai anggota kehormatan IOC dan salah satu Wakil Presiden OCA (Komite Olimpiade Asia). Sementara di KONI Pusat, Bob Hasan empat periode menjadi pengurus teras. Terakhir di era kepengurusan Wismoyo Arismunandar, ia duduk sebagai wakil ketua umum.

Keberhasilan ini menjadikan Bob tokoh yang tetap dicintai, disegani, dan dihormati, di manapun ia berada. Kunjungan 50 atletik, pelatih, dan ofisial, 18 Desember 2003, ke LP Batu Nusakambangan, usai mengukir prestasi di arena SEA Games XXII, Vietnam, menggambarkan kecintaan mereka pada Bob.

Bob dua kali mendapat predikat Pembina Olah Raga Terbaik dari SIWO/PWI Jaya, 1980 & 1984. Juni 1984, Bob menerima penghargaan Goldene Ehren Packeten dari Persatuan Atletik Jerman Barat (DLV) untuk jasa-jasanya meningkatkan hubungan atletik Indonesia-Jerman Barat. Dan, September 1985 Bob bersama Amran Zamzami dan Tahir Djide menerima tanda penghargaan pemerintah RI untuk Pembina Olah Raga Terbaik.

Keterlibatan The Kian Seng, nama asli Bob, dalam atletik bermula dari rasa sakit pada bagian belakang lehernya kalau tangannya digerakkan keluar. Atas anjuran seorang teman, ia melakukan olah raga lari dan senam. Ternyata, manjur, Bob belakangan berlari paling sedikit 5 km sehari. Kalau tidak lari, badannya merasa sakit.

Lewat dukungan dana dari belasan perusahaan, Bob menghabiskan milyaran rupiah untuk pembinaan olah raga, khususnya atletik. Ia juga gemar bermain golf, yang dilakukannya dua kali seminggu. Bob turut duduk dalam kepengurusan Persatuan Golf Indonesia (PGI).

Bob sendiri ‘maniak’ olah raga lari. Belasan tahun ia setiap hari berlari mengitari Stadion Utama Senayan, Jakarta, atau naik turun bukit kecil di depan stadion. Ketika berlari, Bob tidak memilih waktu, hari hujan atau di siang bolong. Kalau sedang di luar negeri, dan menginap di hotel bertingkat, ia pantang naik lift, tetapi lebih suka mendaki dari satu anak tangga ke anak tangga berikutnya.











4. Bob Sadino
Pengusaha Berdinas Celana Pendek

Pria berpakaian ''dinas'' celana pendek jin dan kemeja lengan pendek yang ujung lengannya tidak dijahit, ini adalah salah satu sosok entrepreneur sukses yang memulai usahanya benar-benar dari bawah dan bukan berasal dari keluarga wirausaha. Pendiri dan pemilik tunggal Kem Chicks (supermarket), ini mantan sopir taksi dan karyawan Unilever yang kemudian menjadi pengusaha sukses.
Titik balik yang getir menimpa keluarga Bob Sadino. Bob rindu pulang kampung setelah merantau sembilan tahun di Amsterdam, Belanda dan Hamburg, Jerman, sejak tahun 1958. Ia membawa pulang istrinya, mengajaknya hidup serba kekurangan. Padahal mereka tadinya hidup mapan dengan gaji yang cukup besar.

Sekembalinya di tanah air, Bob bertekad tidak ingin lagi jadi karyawan yang diperintah atasan. Karena itu ia harus kerja apa saja untuk menghidupi diri sendiri dan istrinya. Ia pernah jadi sopir taksi. Mobilnya tabrakan dan hancur. Lantas beralih jadi kuli bangunan dengan upah harian Rp 100.

Suatu hari, temannya menyarankan Bob memelihara ayam untuk melawan depresi yang dialaminya. Bob tertarik. Ketika beternak ayam itulah muncul inspirasi berwirausaha. Bob memperhatikan kehidupan ayam-ayam ternaknya. Ia mendapat ilham, ayam saja bisa berjuang untuk hidup, tentu manusia pun juga bisa.

Sebagai peternak ayam, Bob dan istrinya, setiap hari menjual beberapa kilogram telor. Dalam tempo satu setengah tahun, ia dan istrinya memiliki banyak langganan, terutama orang asing, karena mereka fasih berbahasa Inggris. Bob dan istrinya tinggal di kawasan Kemang, Jakarta, di mana terdapat banyak menetap orang asing.

Tidak jarang pasangan tersebut dimaki pelanggan, babu orang asing sekalipun. Namun mereka mengaca pada diri sendiri, memperbaiki pelayanan. Perubahan drastis pun terjadi pada diri Bob, dari pribadi feodal menjadi pelayan. Setelah itu, lama kelamaan Bob yang berambut perak, menjadi pemilik tunggal super market (pasar swalayan) Kem Chicks. Ia selalu tampil sederhana dengan kemeja lengan pendek dan celana pendek.

Bisnis pasar swalayan Bob berkembang pesat, merambah ke agribisnis, khususnya holtikutura, mengelola kebun-kebun sayur mayur untuk konsumsi orang asing di Indonesia. Karena itu ia juga menjalin kerjasama dengan para petani di beberapa daerah.

Bob percaya bahwa setiap langkah sukses selalu diawali kegagalan demi kegagalan. Perjalanan wirausaha tidak semulus yang dikira. Ia dan istrinya sering jungkir balik. Baginya uang bukan yang nomor satu. Yang penting kemauan, komitmen, berani mencari dan menangkap peluang.

Di saat melakukan sesuatu pikiran seseorang berkembang, rencana tidak harus selalu baku dan kaku, yang ada pada diri seseorang adalah pengembangan dari apa yang telah ia lakukan. Kelemahan banyak orang, terlalu banyak mikir untuk membuat rencana sehingga ia tidak segera melangkah. “Yang paling penting tindakan,” kata Bob.

Keberhasilan Bob tidak terlepas dari ketidaktahuannya sehingga ia langsung terjun ke lapangan. Setelah jatuh bangun, Bob trampil dan menguasai bidangnya. Proses keberhasilan Bob berbeda dengan kelaziman, mestinya dimulai dari ilmu, kemudian praktik, lalu menjadi trampil dan profesional.
Menurut Bob, banyak orang yang memulai dari ilmu, berpikir dan bertindak serba canggih, arogan, karena merasa memiliki ilmu yang melebihi orang lain.

Sedangkan Bob selalu luwes terhadap pelanggan, mau mendengarkan saran dan keluhan pelanggan. Dengan sikap seperti itu Bob meraih simpati pelanggan dan mampu menciptakan pasar. Menurut Bob, kepuasan pelanggan akan menciptakan kepuasan diri sendiri. Karena itu ia selalu berusaha melayani pelanggan sebaik-baiknya.

Bob menempatkan perusahaannya seperti sebuah keluarga. Semua anggota keluarga Kem Chicks harus saling menghargai, tidak ada yang utama, semuanya punya fungsi dan kekuatan. Kembali ke tanah air tahun 1967, setelah bertahun-tahun di Eropa dengan pekerjaan terakhir sebagai karyawan Djakarta Lloyd di Amsterdam dan Hamburg, Bob, anak bungsu dari lima bersaudara, hanya punya satu tekad, bekerja mandiri. Ayahnya, Sadino, pria Solo yang jadi guru kepala di SMP dan SMA Tanjungkarang, meninggal dunia ketika Bob berusia 19.

Modal yang ia bawa dari Eropa, dua sedan Mercedes buatan tahun 1960-an. Satu ia jual untuk membeli sebidang tanah di Kemang, Jakarta Selatan. Ketika itu, kawasan Kemang sepi, masih terhampar sawah dan kebun. Sedangkan mobil satunya lagi ditaksikan, Bob sendiri sopirnya. Suatu kali, mobil itu disewakan. Ternyata, bukan uang yang kembali, tetapi berita kecelakaan yang menghancurkan mobilnya. ''Hati saya ikut hancur,'' kata Bob. Kehilangan sumber penghasilan, Bob lantas bekerja jadi kuli bangunan. Padahal, kalau ia mau, istrinya, Soelami Soejoed, yang berpengalaman sebagai sekretaris di luar negeri, bisa menyelamatkan keadaan. Tetapi, Bob bersikeras, ''Sayalah kepala keluarga. Saya yang harus mencari nafkah.''

Untuk menenangkan pikiran, Bob menerima pemberian 50 ekor ayam ras dari kenalannya, Sri Mulyono Herlambang. Dari sini Bob menanjak: Ia berhasil menjadi pemilik tunggal Kem Chicks dan pengusaha perladangan sayur sistem hidroponik. Lalu ada Kem Food, pabrik pengolahan daging di Pulogadung, dan sebuah ''warung'' shaslik di Blok M, Kebayoran Baru, Jakarta. Catatan awal 1985 menunjukkan, rata-rata per bulan perusahaan Bob menjual 40 sampai 50 ton daging segar, 60 sampai 70 ton daging olahan, dan 100 ton sayuran segar.

''Saya hidup dari fantasi,'' kata Bob menggambarkan keberhasilan usahanya. Ayah dua anak ini lalu memberi contoh satu hasil fantasinya, bisa menjual kangkung Rp 1.000 per kilogram. ''Di mana pun tidak ada orang jual kangkung dengan harga segitu,'' kata Bob.

Om Bob, panggilan akrab bagi anak buahnya, tidak mau bergerak di luar bisnis makanan. Baginya, bidang yang ditekuninya sekarang tidak ada habis-habisnya. Karena itu ia tak ingin berkhayal yang macam-macam. Haji yang berpenampilan nyentrik ini, penggemar berat musik klasik dan jazz. Saat-saat yang paling indah baginya, ketika shalat bersama istri dan dua anaknya.


5. Han Awal
Arsitek Pemugar Bangunan Tua
Han Awal, seorang arsitek santun bersuara lembut lamat-lamat. Arsitek yang ikut berperan merancang Gedung MPR/DPR sebagai asisten arsitek Soejoedi, itu lahir di Malang, 16 September 1930. Karya penerima penghargaan Prof Teeuw Award, itu sudah tersebar di beberapa tempat. Belakangan, dia lebih dikenal sebagai arsitek konservatoris.

Han menyukai arsitektur setelah terinspirasi keindahan Kota Malang, tempat kelahirannya. "Malang itu kota yang ideal. Kota yang nyaman dan memiliki banyak bangunan indah. Saya sangat terkesan," kata Han, bapak empat anak dan kakek empat cucu ini. Saat lulus SMA tahun 1950, Han sebetulnya ingin belajar arsitektur di ITB. Namun, waktu itu ITB belum memiliki jurusan arsitektur. Terpengaruh brosur program pendidikan ahli bangunan di Technische Hoogeschool di Delft, Belanda, ia melanjutkan studi di sekolah itu dengan beasiswa dari Keuskupan Malang. Di tempat ini, dia berkenalan dengan mahasiswa asal Indonesia, seperti Bianpoen, Soewondo, Pamoentjak, dan Soejoedi.

Ketegangan hubungan Indonesia-Belanda gara-gara sengketa Papua mulai terasa akhir tahun 1956. Ini membuat Han pindah ke Jerman dan melanjutkan kuliah arsitektur di Technische Universitat, Berlin Barat, dan lulus tahun 1960. "Di Belanda, saya banyak belajar arsitektur dari segi teknis. Mungkin karena negerinya kecil, para arsitek Belanda sangat mementingkan presisi. Perbedaan ukuran sesentimeter saja bisa dipersoalkan. Baru di Jerman saya mendapat pengetahuan tentang konsep-konsep besar arsitektur," ceritanya.

Sebagai arsitek, jejak Han tersebar di banyak tempat. Di Jakarta, sentuhan Han, misalnya, bisa dilihat di Gedung MPR/DPR. Ia menjadi asisten arsitek Soejoedi dalam proyek pembangunan gedung megah di Senayan, yang awalnya dibangun sebagai Gedung Conefo (Conference of New Emerging Forces) 1964-1972. Kampus Universitas Katolik Atma Jaya di Semanggi dan gedung sekolah Pangudi Luhur di Kebayoran Baru, Jakarta, juga karya dia.

Ciri banyak bangunan karya Han adalah kesederhanaan, dengan dinding dan langit-langit yang sering dibiarkan telanjang. Ia juga mempertimbangkan iklim tropis Indonesia saat merancang, misalnya dengan memperhitungkan sirkulasi udara silang agar bangunan tak perlu pendingin ruang dan hemat energi. "Prinsip arsitektur tropis tak selalu bisa diterapkan. Teori ventilasi silang, misalnya, hanya cocok untuk gedung rendah. Untuk bangunan tinggi, teori ini tak bisa dipakai karena di lantai-lantai atas angin terlalu kencang," papar Han yang merasa sebagai arsitek fungsionalis ketimbang minimalis.

Mendalami konservasi
Han belakangan lebih dikenal sebagai arsitek konservatoris yang menggeluti pemugaran bangunan-bangunan tua. Pada tahun 1988 ia terlibat proyek pemugaran Katedral Jakarta yang sudah mengalami kerusakan berat di berbagai bagian. Ia mengusulkan mengganti atap sirap gereja Katolik yang hampir berusia seabad itu dengan pelat tembaga yang tahan lama.

Karya Han yang monumental di bidang pemugaran adalah Gedung Arsip Nasional, Jalan Gajah Mada 111, Jakarta. Bersama arsitek Belanda, Cor Passchier dan Budi Lim, arsitek lulusan Inggris, ia terlibat pemugaran besar-besaran atas gedung yang dibangun pejabat VOC, Renier de Klerk, akhir abad ke-18 itu. Pemugaran dibiayai oleh berbagai pihak swasta di Belanda, sebagai hadiah ulang tahun emas Proklamasi Kemerdekaan RI, tahun 1995.

"Bangunan tua harus diberi aura baru, sesuai dengan tuntutan zaman. Lampu harus dibuat lebih terang dari dulu, juga pengatur udara," kata Han yang sangat memerhatikan detail. Dalam menggarap pemugaran bangunan tua, ia sering terkesima dengan aspek estetis dan budaya yang melekat pada bangunan itu. Untuk merekam semua itulah, Han mendirikan Pusat Dokumentasi Arsitektur bersama sejumlah arsitek.

"Bangunan-bangunan tua umumnya tak lagi mempunyai gambar, baik gambar desain arsitektur maupun konstruksi. Jadi, untuk memugar, saya harus mengukur ulang. Saya sering terpaksa melakukan penggalian data sampai ke Belanda, KITLV di Leiden, Koninklijk Instituut voor de Tropen di Amsterdam, atau kepada teman-teman yang juga bekerja pada konservasi," ujarnya.

Han pun menjalin pertemanan dengan para arsitek Belanda, termasuk Cor Passchier. Kerja sama intensif baru terjadi setelah ia bertemu para arsitek Negeri Kincir itu di sebuah seminar tentang bangunan warisan sejarah di Indonesia yang digelar IAI tahun 1980-an. "Sebagai pemugar bangunan tua, saya menemukan hal-hal tak terduga. Ternyata, tak semua bangunan tua bikinan Belanda itu baik. Banyak konstruksi yang diselewengkan dan kaidah arsitektur yang tak dilaksanakan dengan benar. Konstruksi jadi tambal sulam. Tapi, itu kan manusiawi dan bukan hal memalukan," papar Han.

Penghargaan Profesor Teeuw
Han kini sedang sibuk menangani pemugaran Gedung Bank Indonesia, Jakarta Kota. Bekas gedung Javasche Bank, bank sentral Hindia Belanda yang berdiri sejak 1828. Setelah itu, ia berencana memugar bangunan Gereja Imanuel, Jalan Medan Merdeka Timur, Jakarta, dan sebuah rumah tua di Jalan Prapatan, Jakarta. Bangunan itu pada abad ke-19 adalah rumah seorang mayor China.

Pertengahan Agustus 2007, dalam sebuah acara di Erasmus Huis, Jakarta, dia menjadi salah satu dari tiga orang Indonesia yang dianugerahi penghargaan Profesor Teeuw. Penghargaan yang menggunakan nama Profesor AA Teeuw, guru besar kajian budaya Indonesia di Universitas Leiden, Belanda, itu diberikan dua tahun sekali sejak 1992 kepada warga Indonesia atau Belanda yang dinilai berjasa meningkatkan hubungan kebudayaan kedua negara.






6. Hary Tanoesoedibjo
Raja Muda Bisnis Multimedia
Hary Tanoesoedibjo, Presdir PT Bimantara Citra Tbk dinobatkan Warta Ekonomi sebagai salah seorang Tokoh Bisnis Paling Berpengaruh 2005. Disebut, tidak banyak orang yang sukses dalam industri media elektronik maupun cetak. Salah satunya adalah Hary Tanoesoedibjo. Tak heran bila kemudian dia dijuluki "Raja Muda Bisnis Multimedia".
Warta Ekonomi 28 Desember 2005: Kiatnya? Tahun 1989 ada orang yang bertanya: Siapa sih Bambang Hary Iswanto Tanoesoedibjo? Dia baru berumur 25 tahun ketika mulai bekerja di PT Bhakti Investama. Waktu itu Hary baru saja meraih gelar Master of Business Administration dari Carlton University, Kanada. Namun, kalau pada 2005 masih ada yang bertanya siapakah Hary Tanoesoedibjo, atau yang akrab dipanggil Hary Tanoe, rasanya keterlaluan. Sebab, dialah raja bisnis multimedia di Indonesia.
Julukan “Raja Bisnis Multimedia” memang kian lekat pada pria kelahiran 26 September 1965 ini. Apalagi sejak mengambil alih PT Bimantara Citra Tbk. tahun 2000 lalu, Hary mengusung ambisi ingin menjadi jawara bisnis media penyiaran dan telekomunikasi. Dan, mimpi itu terbukti. Kini Hary Tanoe mempunyai tiga stasiun TV swasta: RCTI, TPI, dan Global TV, juga stasiun radio Trijaya FM dan media cetak Harian Seputar Indonesia dan Majalah Ekonomi.

Di bawah naungan PT Media Nusantara Citra (MNC), tak sampai lima tahun, Hary berhasil menguasai saham mayoritas di tiga stasiun TV tersebut. Saham MNC sendiri 99,9% dimiliki oleh Bimantara Citra, grup usaha yang dahulunya dimiliki oleh Bambang Trihatmodjo, putra mantan Presiden Soeharto.
Sejak memiliki Bimantara, Hary kian agresif di bidang media. Ditambah lagi, Hary mempunyai kemampuan menentukan perusahaan-perusahaan media mana yang berpotensi untuk berkembang. Selain itu, banyak orang mengakui, kunci sukses Hary terletak pada kemampuannya menata kembali perusahaan yang sudah kusut alias bermasalah. Ini terbukti ketika pria yang kabarnya pernah tidak naik kelas di masa SMA ini membenahi Bimantara yang terbelit utang.
Sebelumnya, Bimantara juga memiliki stasiun radio Trijaya FM. Belakangan, untuk menambah eksistensinya dalam dunia media, Bimantara juga menerbitkan media cetak. Sampai saat ini ada majalah, tabloid, dan koran yang bergabung di bawah bendera Grup Bimantara. Ada majalah ekonomi dan bisnis Trust, tabloid remaja Genie, dan pertengahan 2005 lalu menerbitkan harian Seputar Indonesia.
Ke depan, MNC diproyeksikan menjadi perusahaan subholding yang bertindak sebagai induk media penyiaran di bawah Grup Bimantara. MNC juga bakal menjadi rumah produksi yang akan memasok acara-acara ke RCTI, TPI, Global TV, dan semua jaringan radionya. Selain itu, MNC akan membangun jaringan radio nasional di seluruh wilayah Tanah Air.
Maka, tak heran kalau, kabarnya, sepanjang tahun 2005 ini Hary telah menyiapkan dana sekitar US$20 juta untuk mewujudkan mimpinya melalui MNC tersebut. Bahkan, jika tidak ada halangan, seharusnya pada 2005 ini perusahaan MNC sudah bisa dijumpai di lantai bursa atau go public. Namun, tampaknya, sampai saat ini rencana untuk menambah modal melalui initial public offering belum kesampaian. (divera wicaksono)
Mr. Tanoesoedibjo was born in Surabaya in 1965. Mr. Tanoesoedibjo has successfully led the change of PT Global Mediacom Tbk from a conglomerate into a company with a focus on the Media and Telecommunication sectors.

Mr. Tanoesoedibjo has occupied the position as President Director of PT Global Mediacom Tbk since 2002. Mr. Tanoesoedibjo was previously the Vice President Commissioner of PT Global Mediacom Tbk. Mr. Tanoesoedibjo is the founding and controlling shareholder as well as the Group Executive Chairman of PT Bhakti Investama Tbk since 1989. In addition, he currently holds various positions in other companies, including as President Directors of PT Media Nusantara Citra (MNC) and PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) (a position he has held since 2003) and a member of the Board of Commissioners of PT Mobile-8 Telecom, Indovision and many other companies within the Global Mediacom group of companies as well as Bhakti Investama Group.

Mr. Tanoesoedibjo is currently serving as the General Treasurer of National Sports Committee (KONI). He has been a speaker in various seminars as well as a lecturer of Corporate Finance, Investments and Strategic Management for post graduate programs in various universities.

Mr. Tanoesoedibjo received a Bachelor of Commerce (Honours) degree from Carleton University, Ottawa, Canada, in 1988 and a MBA degree from Ottawa University, Ottawa, Canada, in 1989. (bimantara)









7. Hasjim Ning
Beranjak dari Tukang Cuci Mobil

Lahir dan dibesarkan di Nipah, Padang, Sumatera Barat, 22 Agustus 1916. Di situ juga dia mengecap pendidikan SD Adabiah, Padang (1929) dan MULO, Padang (1933). Kemudian, 1937, Hasjim Ning, yang kemudian bernama lengkap Masagus Nur Muhammad Hasjim Ning, hijrah ke Jakarta. Dia jadi tukang cuci mobil. Dua tahun kemudian, dia sudah dipercaya menjadi perwakilan NV Velodrome Motorcars di Tanjungkarang, Lampung.

Tak lama kemudian (1941), sempat jadi pemborong tambang batu bara di Tanjung Enim. Lalu dia kembali lagi ke Jakarta. Kemudian menjadi administratur perkebunan teh dan kina di Cianjur. Ketika itu pecah perang. Dia pun sempat ikut berperang bersama Alex Kawilarang, 1945 di Cianjur, Bandung Selatan. Lima tahun dia pensiun dengan pangkat letnan kolonel. Lalu mengikuti Kursus Pembukuan A 7 B, Jakarta (1952).

Setelah itu, Hasyim mendirikan Djakarta Motor Company. Tiga tahun kemudian, usaha dagang mobil itu berkembang menjadi usaha perakitan mobil yang pertama di Indonesia. Diberi nama Indonesian Service Station.

Sejak itu, pengusaha yang mendapat gelar kehormatan Dr HC bidang Ilmu Manajemen dari Universitas Islam Sumatera Utara, itu lebih banyak dikenal sebagai pengusaha perakitan mobil. Padahal dia juga pengusaha dalam berbagai bidang, baik ekspor-impor, bank, biro perjalanan, pabrik kosmetik, maupun konsultan rekayasa.

Sebagai pengusaha sukses dia pun terpilih menjadi Ketua Umum Kadin, 1979-1982. Selain itu, dia juga masih sempat berkecimpung dalam dunia politik. Bahkan menjadi Ketua Umum IPKI (1971). Partai ini kemudian ikut berfusi menjadi PDI. Namun 1978 ia mengundurkan diri dari PDI. Kemudian menyeberang ke Golkar menjelang Pemilu 1982.

Istrinya yang sekarang, Ratna Maida, adalah yang ketiga. Nama sang istri diabadikan pada nama yacht miliknya yang ditambat di pantai Marina, Ancol, Jakarta. Dengan yacht warna putih itu, penggemar golf ini sering memancing bersama keluarga. Ayah lima anak ini juga menyenangi musik klasik.












8. Ir. Ciputra
Si Pengembang yang Menggeliat Kembali

Keran KPR yang mulai mengucur, membuat aktivitas PT Ciputra Development terdengar lagi. Kelompok usaha ini semakin giat beriklan. Akankah Ciputra segera berjaya kembali? Akibat krisis ekonomi yang melanda negeri ini, sebagaimana kebanyakan pengusaha properti lainnya, Ciputra pun harus melewati masa krisis dengan kepahitan. Padahal, serangkaian langkah penghematan telah dilakukan. Grup Ciputa (GC), misalnya, terpaksa harus memangkas 7 ribu karyawannya, dan yang tersisa cuma sekitar 35%.

Lantas, semua departemen perencanaan di masing-masing anak perusahaan segera ditutup dan digantikan satu design center yang bertugas memberikan servis desain kepada seluruh proyek. Jenjang komando 9 tingkat pun dipotong menjadi 5. Akibatnya, banyak manajer kehilangan pekerjaan. Lebih pahit lagi: kantor pusat GC yang semula berada di Gedung Jaya, Thamrin, Jakarta Pusat, terpaksa pindah ke Jl. Satrio -- kompleks perkantoran milik GC. Paling tidak, dengan cara semacam itu, GC bisa menghemat Rp 4 miliar/tahun.

Sementara Harun dan tim keuangannya -- setelah susut menjadi 7 orang dan gajinya dipotong hingga 40% -- hengkang ke salah satu lantai Hotel Ciputra, Grogol, Jakarta Barat. Di tempat itu, mereka menyewa beberapa ruangan. Selebihnya, kabar yang menjadi rahasia umum: utang GC macet total.

Menurut Harun, para petinggi CD waktu itu sadar betul kondisi yang ada tidak bakalan berubah secepat yang dibayangkan. Soalnya, berlalunya krisis moneter yang belakangan bermetamorfosis menjadi krisis multidimensional sejatinya berada di luar kendali mereka. Celah yang masih terbuka hanyalah konsolidasi internal dan restrukturisasi perusahaan.

Maka, selain memangkas biaya operasional secara drastis, CD pun segera menerapkan strategi pemasaran baru: menjual kapling siap bangun. Kata Harun, selain CD kala itu hanya menyimpan sedikit stok rumah siap huni, perubahan strategi pemasaran ini juga dilakukan untuk membidik konsumen berkantong tebal. Maklumlah, mengharapkan KPR ibarat pungguk merindukan bulan. Adapun yang tersisa, ya itu tadi, pasar kalangan kelas menengah-atas. Mereka biasanya lebih suka membeli kapling karena dapat menentukan sendiri desain rumahnya.

Keuntungan lain menjual kapling tanah: berkurangnya biaya operasional. Masih menurut Harun, dengan menjual kapling siap bangun, CD cuma berkewajiban menyediakan infrastruktur seperti telepon, air, listrik dan jalan. Memang, ketimbang membangun rumah siap huni, biaya penyediaan infrastruktur relatif jauh lebih murah. Dalam perhitungan Harun, biaya yang dikeluarkan per m2-nya cuma Rp 90 ribu.

Sementara itu, bila membangun rumah siap huni, CD mesti siap menerima kenyataan jika harga bahan-bahan bangunan meningkat pesat. Besi, misalnya. Setelah kurs rupiah terhadap US$, harganya naik 60%. Sementara semen dan keramik, masing-masing meningkat menjadi 40% dan 30%. Jadi, "Tak ada alasan tidak menerapkan strategi itu," ujar Harun. Kebijakan itu berlaku di Jakarta dan di Surabaya.

Guna mendukung strategi di atas, program-program above the line juga tak luput dikoreksi. Hasilnya, dari monitoring yang dilakukan, para petinggi CD akhirnya berkesimpulan, mubazir bila beriklan gencar di masa krisis. "Seperti membunuh tikus dengan memakai bom," jelas Harun. Alhasil, pilihan kemudian jatuh pada penjualan langsung. Bahannya diolah dari database konsumen milik CD. Dan supaya lebih terarah, database diolah lewat pembentukan klub-klub penjualan, di Jakarta maupun Surabaya.

Namun, apa daya, meski harga kapling siap bangun belum dinaikkan dan tim pemasaran bekerja sekeras mungkin, toh strategi itu tidak langsung membuahkan hasil yang memuaskan. Lebih dari Tiga bulan, konsumen yang tertarik dengan ratusan hektare tanah matang milik CD yang dijual dalam bentuk kapling siap bangun -- dari total 1.800 har landbank (tanah mentah) CD yang tersebar di Jakarta dan Surabaya -- bisa dihitung dengan jari. Kata Harun, petinggi CD lagi-lagi sadar para pemilik uang sesungguhnya lebih memilih mendepositokan uangnya ketimbang membeli kaping siap bangun. Maka, "Tahun 1998 adalah tahun yang paling sulit yang pernah dilalui CD," kenangnya. Masalahnya, uang yang masuk selama setahun cuma Rp 40 miliar.

Itulah nilai total hasil penjualan lima proyek perumahan di Jakarta dan Surabaya milik CD. Jelas, ketimbang tahun-tahun sebelumnya, saat kondisi ekonomi masih normal, kenyataan tersebut benar-benar menyakitkan. Sebelum krisis, dari satu proyek saja, CD bisa meraup uang sebanyak Rp 10 miliar/bulan. Artinya, angka Rp 40 miliar tersebut biasanya dicapai hanya dalam sebulan.
Yang lebih menyesakkan, menurut sumber SWA, Pak Ci ikut-ikutan menambah beban psikologis pasukannya. Hampir setiap hari CEO GC itu uring-uringan tanpa sebab yang jelas. Seingatnya,waktu itu Pak Ci jarang bertanya kepada anak buahnya bagaimana sebenarnya kondisi di lapangan. "Ia malah seperti tak habis-habisnya melakukan pressure kepada timnya," jelas si sumber.

Dan lucunya lagi, bahkan di luar dugaan banyak orang -- sang sumber sendiri kaget luar biasa -- Pak Ci sampai-sampai "menodong" seorang pemuka agama agar jemaat gerejanya membeli kapling siap bangun di salah satu proyek perumahan CD. "Benar-benar tidak masuk akal," ungkap sumber. Benarkah? "Bohong. Kalau stres, siapa yang tidak stres waktu itu," bantah Harun. Untunglah, bersamaan turunnya suku bunga deposito di awal 1999, strategi itu mulai menampakkan hasil. Kecil memang, tapi, "Kami sudah mulai sibuk," ujar Harun. Ia menunjuk aktivitas penjualan kapling siap bangun, khususnya yang di Surabaya. "Di kota ini, penjualannya cukup bagus."

Sayang, Harun tak bersedia menyebutkan nilai transaksi di Kota Buaya. Yang jelas, tidak seperti di Jakarta, jumlah item kapling siap bangun yang ditawarkan CD di Surabaya lumayan variatif. Dari segi luas contohnya, 1.200-2.000 m2 dengan harga jual minimal: Rp 600 ribu/meter2. Selain itu, ada pula kapling golf -- posisinya berhadapan atau di sekitar lapangan golf. "Kapling jenis ini, sekalipun lebih mahal, tampak paling disukai," jelas Harun. Bagaimana dengan Jakarta? Kendati kapling yang dijual hanya berukuran 200-500 m2, angka penjualannya tidak sebagus di Surabaya. Dan kapling yang disukai konsumen kebanyakan yang berukuran 400 m2 seharga Rp 225-500 ribu/m2. Menurut Harun, hal itu terjadi karena tingkat persaingan di Jakarta lebih ketat ketimbang di Surabaya. Soalnya, "Ada banyak proyek serupa di sini," ujarnya. Dan, yang lebih penting, kapling golf bukanlah hal yang istimewa bagi banyak konsumen metropolitan. "Jadi, penawaran kami sama seperti yang lain. Karena itu pula, bisa jadi konsumen mencari yang lebih murah."

Seperti yang sudah-sudah, tutur menantu Ciputra itu, kebutuhan konsumen di Jakarta sejatinya adalah rumah siap huni yang dilengkapi fasilitas KPR. Karena itu, bermodalkan pendapatan hasil penjualan kapling siap bangun plus tersedianya sarana KPR, CD pun mulai menggiatkan pembangunan rumah siap huni, di Citra Raya Tangerang, Citra Indah Jonggol, Citra Grand Cibubur ataupun Citra Cengkareng.

Bersamaan waktunya, CD pun kembali rajin beriklan. Namun, tidak seperti tiga tahun lalu, kini belanja iklannya diatur ketat. Indikator pertama yang dihitung sebelum mengeluarkan uang untuk berpromosi di berbagai media cetak adalah jumlah total hari libur dalam setiap bulan. Yang jelas, sebulan CD beriklan tak lebih dari tiga kali. "Bukan apa-apa. Kami hanya ingin iklan itu bisa efektif mencapai sasaran," katanya. Ia menambahkan, klub-klub penjualan yang dulu sempat dibentuk tetap diteruskan.

Hanya saja, lagi-lagi sayang, Harun mengaku tidak ingat persis jumlah uang yang masuk ke kocek CD setelah perusahaan properti yang dipimpinnya itu kembali rajin beriklan. Ia hanya mengatakan, "Cash flow kami cukup aman." Ditambah semakin membaiknya daya beli konsumen, Harun pun optimistis, CD dan GC bisa berkibar kembali. Namun, tentu saja, ia mengaku, "Tidak seperti dulu lagi."


















9. Dr. Charles Saerang
Generasi Ketiga Nyonya Meneer

Di tangan generasi ketiga perusahaan makin berkembang. Berbagai tantangan dan konflik keluarga muncul, tapi dapat diatasi. Mutu dan khasiat jamunya makin terjamin. Zaman boleh saja berubah, tapi mutu dan khasiat Jamu Nonya Meneer tetap dijamin sebagaimana diwariskan pendirinya, Nyonya Meneer.

Di tengah menjamurnya perusahaan obat-obat tradisional dalam negeri, Jamu produksi PT Nyonya Meneer, Semarang, Jawa Tengah terus meningkat dan berkembang. Pengolahannya tidak lagi tradisional tapi sudah modern dengan sentuhan teknologi canggih yang didukung tenaga ahli dan profesional.
Perusahaan didirikan Nyonya Meneer tahun 1919 di Semarang. Sejak tahun 1991, sudah ditangani generasi ketiga di bawah kendali DR Charles Saerang dan berkembang pesat. Awalnya, memiliki 250 orang tenaga kerja. Kini, menjadi 3000 orang. Produknya dari 120 jenis meningkat menjadi 254 jenis. Produknya tidak lagi hanya bentuk bubuk, tapi juga kapsul dan tablet. Produksi dalam bentuk bubuk 200 ton/bulan dan kapsul 4 ton per bulan. Pasarnya, tidak lagi terbatas di dalam negeri tapi sudah memasuki pasar beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Eropa, Australia, Timur Tengah dan Asia.
PT Jamu Meneer dirintis dan didirikan Nyonya Meneer pada tahun 1919 di Semarang. Nyonya Meneer dibantu anaknya Hans Ramana. Di tangan mereka berdua ( Ibu dan anak) perusahaan berkembang. Setelah generasi pertama dan kedua yakni Nyonya Meneer dan Hans Ramana meninggal dunia tahun 1978 dan 1976, kemudian roda perusahaan diestapetkan kepada generasi ketiga yakni ke lima orang anak dari Hans Ramana.
Tapi dalam proses selanjutnya, ke lima bersaudara yang juga cucu sang pendiri Nyonya Meneer, kurang serasi dan menjatuhkan pilihan untuk berpisah. Kini perusahaan murni dimiliki dan dikendalikan DR Charles Saerang. Sedangkan ke empat orang saudaranya dan setelah menerima bagian masing-masing, memilih untuk berpisah.
Untuk mengetahui bagaimana kondisi dan perkembangn PT Nyonya Meneer setelah ditangani generasi ketiga, Tokoh Indonesia mewawancarai Presiden Direktur PT Nyonya Meneer, DR Charles Saerang. Berikut ini rangkumannya.


Bagaimana perkembangan selanjutnya?
Secara umum, bisnis keluarga yang langsung dikelola anggota keluarga sendiri tidak terlepas dari konflik keluarga, tidak terkecuali PT Nyonya Meneer. Itulah sebabnya, kegagalan atau kehancuran bisnis keluarga, bukan karena kalah bersaing atau kekurangan modal, tetapi karena perseteruan yang tak kunjung teratasi. Artinya, jika berhasil mengatasi konflik, selamatlah perusahaan. Sebaliknya, jika gagal menyelesaikan perseteruan, perusahaan akan tutup.
Dalam bisnis keluarga ada pameo yang mengatakan, “generasi pertama menemukan, generasi kedua mengembangkan dan generasi ketiga menghancurkan”. Tapi pameo itu sama sekali tidak berlaku bagi PT Nyonya Meneer. Sekalipun terjadi konflik, saya dapat mengatasinya dengan baik. Potensi yang saya miliki dan dukungan dari istri tidak hanya sekadar mampu mengatasi masalah tapi juga berhasil membangun dan mengembangkan perusahaan. Banyak kemajuan dan peningkatan yang diraih perusahaan.
Ketika bibit-bibit perselisihan mulai muncul, saya langsung memberikan aba-aba kepada keempat saudara saya yang semula ikut sebagai pemilik. Tawaran saya kepada saudara-saudara saya adalah mencari jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah. Mereka memutuskan berpisah dan meminta bagian. Saya tetap diperusahaan. Ketika saya berusia 24 tahun dan selesai studi di Business School Miami University, Oxford, Ohio, AS tahun 1976, dipaksa sang ayah untuk bergabung di perusahaan. Kemudian, tahun 1991 dan setelah menyelesaikan konflik, langsung menjadi pemilik tunggal dan sekaligus pimpinan.

Perkembangan perusahaan?
Ketika saya memasuki perusahaan tahun 1976, karyawan berjumlah 150 orang dan tahun 2002 meningkat jadi 3000 orang. Produk meningkat dari 120 jenis menjadi 254 jenis. 80 persen dari produk untuk kepentingan wanita.
Pangsa pasarnya meningkat baik di dalam maupun di luar negeri. Hampir semua pasar dalam negeri dimasuki Jamu Nyonya Meneer yang didukung 2000 agen. Negara tujuan ekspor antara lain Malaysia, Singapura, Belanda Arab Saudi, Australia, Amerika Serikat. Hasil ekspor rata-rata Rp 20 miliar per bulan. Total keseluruhan omset jamu asli Indonesia (Jamu bebas bahan kimia) mencapai Rp 1,2 triliun per tahun atau sekitar 15 % dari total obat-obatan non jamu yang berjumlah Rp 11 triliun. Cukup besar kontribusi jamu dalam mengisi devisa negara. Intinya, 35 produk Jamu Nyonya Meneer untuk kebutuhan dalam negeri dan 15 % lagi untuk ekspor.
Dalam bentuk bubuk setiap bulan diproduksi 200 ton dan dalam bentuk kapsul 4 ton per bulan. Mengenai pasar ekspor, di Singapura PT Nonyonye Meneer memiliki 400 outlet. Di Malaysia terdapat 1.600 outlet. Jumlah outlet jamu Nonya Meneer di luar negeri hingga tahun 2002, mencapai 4.900 outlet. Selain di Singapura dan Malaysia, juga terdapat di Filipina, Korea, Belanda, Taiwan, Jepang, AS, Brunei, Arab Saudi, Vietnam, dan Selandia Baru. Sedangklan outlet di dalam negeri mencapai 28.665 lokasi di 19 propinsi.
Kini perusahaan memiliki dua lokasi pabrik di Jalan Raden Fatah dan Jalan Raya Kaligawe Semarang, Jawa Tengah. Perusahaan juga telah memiliki sebuah Museum yang merupakan pertama di Indonesia. Kehadiran Museum ini dimaksudkan sebagai cagar budaya untuk melestarikan warisan leluhur, sehingga generasi muda dapat dengan mudah mengenal jamu asli Indonesia di kemudian hari.
Bagaimana mutu Jamu setelah ditangani generasi ketiga?
Setelah saya menginjakkan kaki di perusahaan, pesan yang saya terima dari nenek (Nyonya Meneer) dan ayah (Hans Ramana) sebagai orang pertama dan kedua yang menemukan dan mengembangkan Jamu Nyonya Meneer, adalah agar mutu dan hasiat jamu buatan PT Nyonya Meneer tetap dijaga dan harus ditingkatkan. Pesan ini saya jaga betul, sehingga sangat selektif dalam memilih bahan baku. Kami membuka pembibitan sendiri, tujuanya disamping mempermudah pengadaan bahan baku juga meningkatkan kualitasnya karena bisa diawasi secara langsung. Zaman boleh saja berubah tapi khasiat Jamu Nyonya Meneer tidak berubah dan tetap terjamin. Bahkan kemajuan tekonologi dapat dimanfaatkan untuk semakin meningkatkan kualitas dari jamu buatan PT Nyonya Meneer. Semua produk perusahaan dijamin dan tidak menggunakan bahan-bahan kimia.

Apa tantangan yang dihadapi dalam bisnis jamu ini?

Sungguh banyak terutama karena kurangnya perhatian pemerintah. Terus terang, perhatian dan perlindungan pemerintah terhadap perajin, produsen dan pengusaha jamu asli Indonesia masih lemah. Buktinya, masih sangat banyak jamu-jamu yang mengandung bahan kimia beredar di dalam negeri. Pada hal, 'jamu kimiawi' itu sangat berbahaya karena bisa mematikan. Jamu berbahan kimia atau juga disebut jamu bermasalah ada buatan Cina dan ada juga buatan Cilacap. Sedang yang disebut jamu asli Indonesia adalah jamu yang sama sekali tidak menggunakan bahan kimia.
Baik sebagai pengusaha maupun sebagai Sekjen Dewan Pimpinan Pusat Gabungan Pengusaha Jamu Indonesia (DPP GPJI), saya selalu menyuarakan pembasmian jamu berkandungan zat kimia itu. Sebab, jamu kimia tidak sekadar merugikan pasar jamu asli Indonesia tapi juga sangat berbahaya bagi kesehatan manusia.
Memang, kahasiat jamu asli Indonesia sampai kini masih diakui secara turun temurun. Kendati secara medis, dokter-dokter Indonesia belum berkenan memasukan jamu sebagai resep pengobatan. Untuk mengatasinya dan sesuai dengan tuntutan konsumen, GPJI telah menjalin kerjasama dengan dengan Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta membuka pendidikan program diploma 2 ( D2) dan dengan Universitas Trisakti, Jakarta membuka program baru khusus mengenai jamu.
Dengan masuknya Jamu ke kampus dan resmi sebagai salah satu jurusan, diharapkan akan membuka mata semua pihak terutama dokter akan keampuhan obat tradisional yang menjadi kebanggaan bangsa Indonesia. Obsesi saya tidak lagi sekadar agar Jamu dapat disejajarkan dengan obat farmasi, tapi bercita-cita agar jamu dapat dijadikan sebagai metode pengobatan di rumah sakit.
Ke depan saya berniat agar di negeri ini yang merupakan gudangnya jamu berkhasit berdiri sebuah Rumah Sakit yang khusus menggunakan obat-obat tradisional/jamu dalam pengobatan atau penyembuhan. Karena itulah, para pengusaha jamu asli Indonesia tetap komit untuk meningkatkan martabat jamu dengan berbagai upaya yang tidak melanggar norma, etika dan budaya.
Tantangan lainnya, pada satu sisi, ingin membangun perusahaan keluarga menjadi lebih modern dan profesional. Tapi di sisi lain mutu dan khasiatnya harus lebih baik. Komitmen saya jamu asli Indonesia jangan sampai ternoda bahan kimia. Karena itu, saya selalu berteriak-teriak, agar pemerintah berkenan melarang peredaran jamu kimia. Ini bukan semata-mata untuk kepentingan perusahaan saya, tapi untuk menjaga eksistensi, mutu dan martabat jamu asli Indonesia.

Sikap Anda, melihat industri farmasi yang memproduksi jamu?
Silahkan saja. Hanya saya berharap, jika memang mau terjun dalam usaha jamu, jangan membawa-bawa nama industri farmasinya. Berilah kesempatan kepada produsen jamu yang masih kecil yang jumlahnya 700-an untuk berkembang. Selain itu, pasar produk-produk jamu industri farmasi jangan sampai merebut pasar jamu asli.
Segmen pasarnya harus dibedakan, sehingga semuanya dapat saling tumbuh bahkan bergandengan tangan. Mungkin saja, karena perkembangan dan tuntutan, boleh saja uji klinis dilakukan terhadap jamu, tapi jamu sebagai empiris yang diolah secara tradisional dan peninggalan nenek moyang, jangan dihilangkan. Yang mau uji secara klinis, silakan saja. Tapi yang empiris tetap dipertahankan dan jangan sampai hilang.
Saya dan rekan-rekan pengusaha jamu selalu mendorong dan mendesak pemerintah agar jamu dapat dijadikan sebagai salah satu metode pengobatan dan bukan sekadar alternatif. Jamu harus disejajarkan dengan obat farmasi. Artinya, kalau sudah minum jamu, orang tak usah lagi minum obat farmasi.

Bagaimana persaingan di antara produsen jamu sendiri?
Oh, ketat sekali. Bahkan sering terjadi perang harga sampai pemberian diskon yang mencolok. Persaingan tidak sehat dalam bisnis itu sangat dirasakan. Akibatnya, harga jamu tertekan terus. Untuk bertahan akhirnya mutu jamu dikurangi oleh para produsen. Agar tidak saling mematikan dan mutu jamu tetap terjaga, disepakati untuk menabukan perang harga dan memberlakukan standar harga.
Cara ini dianggap sebagai solusi terbaik dalam upaya memberikan kesempatan kepada yang lain terutama yang kecil untuk berkembang. Prinsipnya, yang besar boleh besar dan yang kecil jangan dimatikan tapi harus lebih dibesarkan.
Mengakhiri wawancara, Charles mengatakan dalam mengembangkan bisnisnya ia juga tidak terlepas dari bantuan istri tercintanya, dr Lindawati Suryadinata.
Ia mengakui dalam memimpin perusahaan raksasa terkemuka Indonesia itu, harus mengatur waktu ekstra ketat. Bolak-balik Semarang-Jakarta dan ke beberapa negara terutama Malaysia merupakan pekerjaan rutinnya. Keinginannya, selain menjalankan perusahaan dan, organisasi dengan baik.
Dia juga berobsesi agar menjadi guru, kawan, dan sekaligus ayah yang baik, bagi keluarga, termasuk terhadap dua orang anak perempuannya, Vanessa Kalani (13) dan Claudia Alana (10) yang kini sekolah di Garden International School, Kuala Lumpur Malaysia.

10. Eric FH Samola
Pengusaha Peduli wartawan
Pria kelahiran Minahasa, Sulawesi Utara, 26 Agustus 1936, ini seorang pengusaha yang peduli pada profesi jurnalistik. Dialah yang meletakkan dasar-dasar manajemen baru Jawa Pos sehingga menjadi salah satu koran terbesar di Indonesia. Eric Samola meninggal dunia 10 Oktober 2000 di rumah sakit Mount Elizabeth, Singapura dan dimakamkan di Jakarta. Eric Samola ketika masih di Bagian Hubungan Masyarakat PT Pembangunan Jaya, ketika direktur utamanya, Ciputra, memintanya memikirkan sejumlah wartawan yang keluar dari majalah Ekspres. ''Wah, mengurusi wartawan repot,'' katanya, kendati tugas itu diterimanya juga. Ternyata, ia bukan saja mampu membesarkan majalah TEMPO, tetapi juga mengembangkan
Medika dan Swasembada, serta harian Jawa Pos di Surabaya.
Sibuk di perusahaan pers tidak membuatnya menelantarkan tugas awalnya di Jaya Group. Memulai sebagai pegawai biasa, dari keberhasilannya merebut satu-satunya lowongan tenaga sarjana hukum di antara 26 SH yang melamar, ia menjadi salah seorang direktur PT Pembangunan Jaya. ''Saya tidak bisa bekerja setengah-setengah,'' tulis Samola dalam Suplemen 15 Tahun TEMPO, Maret 1986, seperti hendak menjelaskan kunci keberhasilannya.
Di waktu kecil, ia ingin menjadi polisi. ''Pekerjaan itu kelihatan
berwibawa sekali,'' kata Eric, yang yatim ketika berusia satu tahun, sedangkan satu-satunya adiknya masih dalam kandungan ibunya yang tetap menjanda. Perjuangan sang ibu yang membiayai sekolah mereka dengan gaji seorang guru SD melecutnya rajin belajar. Tamat SMA, ia merantau ke Jawa, dan untuk memenuhi cita-cita masa kecilnya, Eric melamar -- dan diterima -- di sekolah polisi di Sukabumi. Tiba-tiba cita-citanya beralih ingin menjadi hakim. Ia lalu mendaftarkan dan diterima di Fakultas Hukum & Pengetahuan Masyarakat UI, rampung 1964. Melamar kerja di Departemen Kehakiman, lowongan hakim yang tersedia hanya di Timor, padahal Eric ingin ditempatkan di Jakarta atau Bandung. Sebenarnya keinginannya itu bisa terpenuhi, bila ia sudi ''mengeluarkan biaya''. Semasa mahasiswa, Eric aktif di organisasi mahasiswa Kristen GMKI. ''Sejak SMP saya memang sudah senang berorganisasi,'' tutur Direktur
Utama PT Grafiti Pers, yang menjadi penerbit TEMPO itu. Maka, tidak heran, di tengah-tengah kesibukannya, ia masih menyempatkan diri menjabat Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia. Di DPP Golkar, Eric menjadi Ketua Departemen Koperasi dan Wiraswasta.
Pada usia 50 tahun (1986), dengan tinggi 175 cm, berat badannya ''berlebih'' 5 kg. ''Karena itu, kalau malam saya jarang makan nasi,'' kata Samola, yang suka main golf dan jalan kaki pagi. Dulu, 1968-1972, ia menyenangi reli mobil, dan Eric muda pernah menjadi juara keempat dan ketiga Rally Jawa-Bali I dan II. Penggemar film James Bond dan musik Idris Sardi ini menikah dengan Dorothea Sara Luntungan, anak pendeta yang dulu sama- sama aktif di GMKI. Mereka dikaruniai dua anak. Pada tahun 1982, Eric FH Samola yang ketika itu menjabat Direktur Utama PT Grafiti Pers (penerbit Majalah Tempo) mengambil alih Jawa Pos. Dialah yang kemudian meletakkan dasar-dasar manajemen baru Jawa Pos. Eric memilih Dahlan Iskan, Kepala Biro Tempo di Surabaya untuk menjalankan ide-idenya itu. Tahun 1990 Eric Samola menderita sakit yang amat panjang dan akhirnya meninggal dunia di tahun 2000. Dahlan selalu mengatakan Eric Samola bukan saja sebagai seniornya tapi juga bapaknya.


11. Franciscus Welirang
Pewaris Lain Taipan Liem
Dia menikah dengan Myra Salim, putri taipan terbesar era Soeharto yaitu Soedono Salim atau Liem Sioe Liong atau Om Liem. Dikaruniai dua putri, pria paruh baya kelahiran Padang, Sumatera Barat 9 November 1951 ini menjadi pewaris lain imperium bisnis Salim Grup. Selain direktur pada PT Indofood Sukses Makmur (ISM) produsen makanan kesohor, dia dipercaya sebagai pemimpin tertinggi Chief Executive Officer (CEO) dan Presiden Direktur pada PT Bogasari Flour Mills, industri tepung terigu terbesar di dunia. Walau sebagai pewaris lain, Franciscus “Frangky” Welirang tidaklah dengan mudah menerima warisan.

Sosok Frangky mulai muncul di atmosfir Salim Grup setelah menamatkan pendidikan insinyur kimia bidang plastik, di Institute South Bank Polytechnic, London, Inggris tahun 1974. Pria muda yang selalu merendah alias low profile itu, mengawali sepakterjangnya dengan bergabung pada Salim Economic Development pada tahun 1974 hingga 1975. Pada tahun 1977 hingga 1991 dia mulai diorbitkan ke salah satu anak perusahaan Salim Grup di Bogasari Flour Mills sebagai Wakil General Manager, dan makin dipopulerkan di lingkungan Salim sebagai General Manager pada tahun 1991-1992.

Selepas itu, pada tahun 1992 Frangky mulai dirotasi tour of duty sebagai direktur pada PT Indocement Tunggal Prakarsa, juga milik Salim Grup. Ketika Bogasari diakuisisi oleh PT Indofood Sukses Makmur (ISM) demi kepentingan strategi perusahaan, Frangky Welirang ikut terbawa promosi menjadi direktur pada PT ISM, hingga sekarang. Ketika Eva Riyanti Hutapea menyatakan mundur sebagai CEO dan presiden direktur pada PT ISM, nama yang dominan muncul pengganti Eva pada RUPS bulan Mei nanti adalah Frangky. Pada Bogasari sendiri, terakhir dia ditunjuk menjadi pemimpin tertinggi sebagai CEO dan presiden direktur.

Selain “putra mahkota” Anthony Salim adalah Franciscus Welirang yang akan merajai bisnis Salim di kemudian hari. Namun yang menarik dari diri Frangky adalah kesederhanaan dan keinginannya yang besar membina pengusaha kecil. Pembinaan ini akan menentukan cetak biru kemajuan usahanya sebab bisnis tepung terigu yang ditangani Bogasari –demikian pula Indofood dengan mie instannya—sampai ke tangan konsumen adalah melalui jasa para pengusaha kecil termasuk pedagang kue dan mie instan di kaki lima. Jumlah mereka yang menjadi ujung tombak pemasar pun tidak sedikit bisa puluhan ribu tersebar di seluruh Indonesia. Bagi masyarakat awam maupun elit kelas menengah atas makanan roti, kue-kue, mie instan dan makanan ringan lain berbahan baku terigu telah menjadi makanan pokok kedua setelah nasi.

Frangky sendiri mengakui, bahkan berprinsip bahwa pengusaha kecil adalah jaringan bisnis yang membuat besar Bogasari. Mitra bisnis Bogasari itu, disebutkan Frangky misalnya pedagang roti, pedagang bakso, maupun pedagang kue basah di emperan toko Pasar Senen dan Blok M. Kalau mereka bertumbuh dan berkembang, demikian Frangky, tentunya Bogasari juga berkembang. Kalau mereka bangkrut, Bogasari juga tutup.

Frangky menyebutkan terdapat puluhan ribu orang pengusaha kecil dalam naungannya. Mereka semua memperoleh bantuan dan binaan. Bantuan itu, misalnya berupa dana, penyuluhan, latihan, dan konsultasi untuk memperkuat para pengusaha kecil. Mereka itulah yang secara alamiah menjadi jaringan usaha terpenting serta berperan membesarkan Bogasari, dan sebagai timbal-balik mereka dibina oleh Bogasari. Menurut Frangky, pembinaan ini sudah dilakukan sejak awal Bogasari berdiri.

Bogasari mendirikan Kelompok Wacana Mitra lembaga khusus membina pengusaha kecil. Kelompok ini terjun langsung memberikan latihan dan penyuluhan bagaimana mengelola usaha kecil, etika bisnis, administrasi keuangan, kualitas produk, dan pengetahuan lainnya. Diterbitkan pula buletin Wacana Mitra untuk memberikan edukasi, dorongan dan semangat kepada pengusaha kecil melalui artikel-artikel yang dimuat. Misalnya tulisan tentang keberhasilan pengusaha Mie Kocok Bandung, atau pengusaha roti bantal dan sebagainya.

Bogasari adalah satu dari empat produsen terigu dengan omset pertahun mencapai Rp lima trilyun. Tiga lainnya PT Sriboga, PT Panganmas, dan PT Berikari. Sebagai produsen terbesar, pangsa pasar terigu yang tiap tahun bertambah lima hingga sepuluh persen itu sekitar 70 persen dikuasai oleh Bogasari. Pertambahan pangsa pasar terigu nasional antara lain dipicu oleh semakin besarnya masyarakat untuk mengkonsumsi makanan bukan nasi seperti roti, mie, kue, biskuit, demikian pula maraknya kemunculan restoran cepat saji (fastfood) yang menawarkan aneka jenis makanan seperti burger, hot dog, pizza, kebab, donat yang sebagian besarnya berbahan baku terigu.

Bogasari yang pendiriannya diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 19 Mei 1971, itu dimaksudkan untuk mengolah biji gandum menjadi tepung terigu. Pabrik pertama dibangun di kawasan pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta di atas tanah 10 hektar dengan kapasitas olah 9.500 ton gandung perhari, pabrik kedua didirikan di lokasi pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya diresmikan pada 1972 dengan kapasitas olah 5.000 ton gandum perhari. Total mempekerjakan 4.000 orang karyawan, jadilah Bogasari industi terigu terbesar di Indonesia.

Menarik mencermati kuatnya penguasaan pasar oleh Bogasari. Ada yang menuding, sejak awal perusahaan ini telah memperoleh “lisensi” monopoli. Apalagi, mengingat kedekatan Pak Harto dengan Om Liem sejak sama-sama di Semarang. Namun Frangky Welirang menyatakan berbeda. Menurut Frangky, industri ini memang harus memiliki kekuatan. Toh, kata Frangky, Bogasari bukanlah satu-satunya industri terigu dan ketiga industri lain itu diberi kesempatan sama untuk berkembang.

“Namun, soal strategi penjualan dan kualitas produksi belum tentu sama. Kita memiliki cara sendiri-sendiri. Pasar juga menentukan siapa yang terbaik,” jelas Franciscus Welirang. Dia mencatat ada beberapa hal yang membuat Bogasari unggul. Misalnya, strategi pembentukan jaringan pemasaran dan penjualan yang jauh lebih baik dibanding tiga pesaing, kekuatan modal yang memberi pengaruh signifikan terhadap keberhasilan pemasaran, serta kualitas produksi dan strategi promosi yang membuat produk Bogasari laku terjual di pasar.









12. Gunawan Pranoto
Tampilkan Citra Baru Kimia Farma

Pria kelahiran Yogyakarta tahun 1951 ini bersama segenap jajaran direksi dan staf karyawan mengubah persepsi dan citra lama tentang Kimia Farma. Caranya, secara fisik memperbaharui penampilan eksterior dan interior sebanyak 270 apotek yang dikelola yang tersebar di seluruh Indonesia. Bersamaan itu diciptakan pula budaya baru di lingkungan setiap apotek untuk lebih berorientasi kepada pelayanan konsumen.

Tidaklah mengheranbkan jika Sarjana Farmasi lulusan Universitas Gajah Mada (UGM) tahun 1977, ini mengambarkan, 25 persen kesembuhan pasien diharapkan dihasilkan oleh kenyamanan dan kebaikan pelayanan apotek. Sedangkan sisanya 75 persen lagi berasal dari obat yang digunakan pasien.

Peraih predikat apoteker sejak tahun 1978 ini menyiapkan anggaran tidak sedikit untuk melakukan perubahan persepsi itu, sekitar Rp 13,5 miliar hingga Rp 27 miliar. Untuk satu apotek dia menghabiskan biaya antara Rp 50-100 juta. Angka itu masih di luar kebutuhan untuk biaya program training seluruh karyawan.

Dia, yang sempat menjabat Presiden Direktur PT Phapros April 2002 hingga sebelum terpilih sebagai Presiden Direktur PT Kimia Farma, Tbk pada Juni 2002, sangat ingin BUMN bidang farmasi yang dipimpinnya membawa wajah dan penampilan baru.

Dengan konsep baru dia menjadikan setiap apotek Kimia Farma sebagai pusat pelayanan kesehatan atau health center. Kimia Farma bukan lagi terbatas sebagai gerai untuk jual obat, melainkan didukung berbagai aktivitas penunjang seperti laboratorium klinik, praktek dokter, dan gerai untuk obat-obatan tradisional Indonesia seperti herbal medicine. Bila perlu obat-obatan Indonesia itu dipersandingkan dengan obat-obatan Cina yang bagus dan resmi untuk menumbuhkan persaingan yang sehat.

Setiap apotek Kimia Farma dengan konsep baru haruslah mampu memberikan servis yang baik, penyediaan obat yang baik dan lengkap, berikut pelayanan yang cepat dan terasa nyaman.

Secara bertahap mantan presiden direktur PT Indo Farma selama 10 tahun antara 1991 hingga 2001 ini memulai langkah dengan mengubah image, logo, dan berbagai pernik lain menjadi sesuatu yang baru. Hasilnya adalah sebuah konsep dengan eksterior serta interior baru. Namun yang tak kalah penting adalah perubahan itu telah disertai dengan budaya pelayanan yang baru pula.

Belajar dari penglihatan dia akan kesuksesan manajemen Bank Mandiri melahirkan persepsi baru tentang bank pemerintah yang baik, dia pun optimis cerita sukses serupa bisa dia lakukan di PT Kimia Farma, Tbk sebagai BUMN bidang farmasi yang baik.

Ayah dua orang anak ini selalu menjalankan bisnis sesuai dengan kemampuan yang dibarengi dengan itikad baik. Dia berprinsip seseorang boleh pintar dan hebat, namun kalau itikadnya tidak baik maka hasilnya adalah sebuah perusahaan yang tidak baik pula. Demikian pula Kimia Farma akan bisa menjadi perusahaan yang baik atau malah menjelma menjadi perusahaan yang tidak baik.

Sebagai putra kelahiran Yogyakarta seluruh pendidikan formalnya dia selesaikan di wilayah situ juga. Seperti, Sekolah Dasar (SD) di Bantul lulus tahun 1962, Sekolah Menengah Pertama (SMP) tahun 1965, Sekolah Menengah Atas (SMA) tahun 1968, hingga perguruan tinggi dia selesaikan di Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta, jurusan farmasi selesai tahun 1977.

Dia berhasil meraih predikat apoteker persis setahun kemudian yaitu di tahun 1978. Masih pada tahun yang sama, tahun 1978, dia mulai bekerja sebagai General Manager di PT Rajawali Nusindo, Jakarta, sebuah anak perusahaan BUMN RNI Group. Di situ sehari-hari dia bertanggungjawab perihal distribusi obat-obatan dan alat kesehatan produksi PT Phapros, Semarang, masih anak perusahaan RNI Group, maupun produksi dari prinsipal asing dan domestik.

Bersamaan itu dia ditugaskan pula untuk mengkoordinasikan kegiatan pemasaran produk PT Phapros, sebuah tugas yang dia jalani hingga tahun 1983. Semenjak tahun 1984 hingga 1988 penggemar olahraga tenis ini memperoleh penugasan baru sebagai General Manager PT Phapros, di Semarang.

Usai dari Semarang dia kembali ke Jakarta sebagai General Manager di PT Rajawali Nusindo, Jakarta tahun 1989-1991. Lepas dari itu posisinya meningkat langsung menjadi Presiden Direktur PT Indofarma, selama 10 tahun sejak 1991 hingga 2001. Dia masih sempat kembali sebentar ke PT Phapros, Semarang, namun sudah sebagai direktur utama yaitu di bulan April 2002. Pada bulan Juni 2002 oleh para pemegang saham dia dipercaya memimpin PT Kimia Farma Tbk, sebagai presiden direktur dengan dukungan ribuan karyawan.

Dengan jumlah karyawan ribuan dia harus benar-benar mengutamakan aspek sumberdaya manusia (SDM) dalam setiap menggerakkan roda perusahaan. Karenanya peran SDM bagi dia menjadi sangat penting untuk menentukan maju mundur perusahaan. “Dan tidak hanya perusahaan saya kira, negara juga begitu,” ujarnya menggambarkan begitu strategisnya aspek SDM bagi kemajuan perusahaan, termasuk Kimia Farma yang masih menguasai pangsa pasar obat generik sekitar 22-23 persen, terbesar kedua di bawah PT Indofarma, Tbk.


Kepercayaan pemegang saham itu sesungguhnya tidaklah berlebihan untuk seseorang yang telah sangat paham dengan lika-liku kepemimpinan perusahaan. Sebab sebelumnya dia sudah kenyang dengan berbagai pengetahuan dan keterampilan manajemen yang diperoleh dari berbagai pelatihan, lokakarya, dan berbagai seminar kepemimpinan.

Misalnya, pendidikan dan latihan di Departemen Keuangan tahun 1982, lokakarya perencanaan strategis dan pengambilan keputusan di LPPM tahun 1983, decision making and problem solving (Minaut) juga di LPPM tahun 1984, lokakarya pengelolaan industri farmasi masih di LPPM tahun 1986, dan dari berbagai seminar dalam dan luar negeri.

Dengan beragam keahlian manajemen itu dia memimpin PT Kimia Farma, Tbk yang memiliki beragam produk seperti produk ethical, over the counter (OTC), hingga herbal medicine alias jamu-jamuan. Terdapat 250 jenis produk dihasilkan dan dipasarkan oleh Kimia Farma sebagian terbesar untuk konsumsi dalam negeri. Merek-merek yang sudah dikenal luas misalnya Batugin, Enkasari, Antussin, Fitolac, dan lain-lain.

Obat antibiotik adalah unggulan Kimia Farma, sama seperti perusahaan farmasi lainnya. Kondisi demikian terkait dengan pola penyakit di Indonesia yang dominan penyakit infeksi. Baru Kemudian menyusul obat-obatan degeneratif seperti obat jantung, kardiovaskuler, dan lain-lain.

Selain memahami betul persoalan kepemimpinan dan manajemen perusahaan dia juga sarat dengan beragam kegiatan organisasi profesi bidang farmasi. Dia adalah Ketua I Pengurus Daerah (Pengda) Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GP Farmasi) wilayah Jawa Tengah, tahun 1987-1988.

Kemudian di tingkat nasional dipercaya sebagai Ketua Bidang Industri PP (Pengurus Pusat) GP Farmasi Indonesia (1989-1995), serta Wakil Ketua Umum PP GP Farmasi Indonesia (1996-1999). Yang terbaru adalah menduduki posisi sebagai Ketua Majelis Kode Etik di GP Farmasi serta Ketua III Pengurus Pusat GP Jamu Indonesia sejak tahun 2000.

Dengan beragam kelebihan yang dimiliki dia bermaksud menaikkan grade perusahaan pemegang sertifikat ISO 9001 dan ISO 9002 ini ke posisi tiga besar industri farmasi terbesar Indonesia. Jalan ke arah itu adalah mendongkrak kinerja perseroan dan cara adalah melakukan upaya restrukturisasi.

Implementasi restrukturisasi diharapkan mampu meningkatkan value perusahaan paling tidak 50 persen lebih tinggi dari kondisi normal. Naik tidaknya kinerja perusahaan itu terlihat pada posisi harga saham PT Kimia Farma, Tbk di lantai bursa.









14. Iwan Tirta
Desainer Pecinta Batik

Dalam hal pelestarian budaya tradisional Indonesia, namanya tidak diragukan lagi. Ia berhasil ‘menjual’ batik khas Indonesia hingga ke mancanegara. Meskipun pendidikan formalnya adalah School of Oriental and African Studies di London University dan master of laws dari Yale University, Amerika Serikat, ia justru menemukan dunianya sebagai desainer yang cinta batik.

Sumbangan pria kelhariran Blora, Jawa Tengah, 18 April 1935 ini yang paling nyata adalah ketika dia berhasil mentransformasi batik dari selembar kain batik yang secara tradisional digunakan dengan dililitkan di tubuh menjadi gaun indah yang tidak kalah dengan gemerlap dari Barat. Kepraktisan berbusana cara Barat perlahan tetapi pasti memang telah menggerus cara berbusana tradisional perempuan Jawa, dan Iwan berhasil memadukan keindahan batik dengan kepraktisan pakaian ala Barat.

Nusjirwan Tirtaamidjaja yang dikenal dengan nama Iwan Tirta mulai bersentuhan dengan batik pada tahun 1960-an. Saat itu ia sedang bersekolah di Amerika Serikat. Selama di sana, ia sering mendapat pertanyaan tentang budaya Indonesia yang kemudian membuatnya ingin mengenal lebih jauh budaya negerinya sendiri.

Sebenarnya, Iwan Tirta sudah bersentuhan dengan budaya khususnya budaya Jawa sedari kecil. Iwan berdarah campuran Purwakarta, Jawa Barat, dari ayahnya Mr Moh Husein Tirtaamidjaja, anggota Mahkamah Agung RI (1950-1958), dan Sumatera Barat dari ibunya yang berasal dari Lintau. Iwan yang lahir di Blora, Jawa Tengah, belajar mengenai budaya Jawa ketika orangtuanya menjelma menjadi priayi Jawa saat ditugaskan di Jawa Tengah.

Ketertarikan secara khusus kepada batik lahir ketika atas dana hibah dari Dana John D Rockefeller III Iwan mendapat kesempatan mempelajari tarian keraton Kesunanan Surakarta. Di sanalah Iwan memutuskan mendalami batik dan bertekad mendokumentasi serta melestarikan batik. Hasil penelitiannya ia simpulkan dalam bukunya yang pertama, Batik, Patterns and Motifs pada tahun 1966.

Kepekaan seni dan pergaulannya yang luas dengan berbagai kalangan dari Timur dan Barat membuatnya mampu membawa batik menjadi busana yang diterima bukan hanya di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Tiga puluh tahun kemudian, pemahaman dan pengalamannya tentang batik yang semakin matang ia tuangkan dalam bukunya Batik, A Play of Light and Shades (1996).

Selain merancang busana, Iwan juga sampai kepada seni kriya lain. Berkat kedekatannya dengan kalangan keraton Jawa, Iwan mulai ‘bermain-main’ menumpahkan jiwa seninya ke atas perak. Motif modang, misalnya, dijadikan ragam hias pada tutup tempat perhiasan, sementara seperangkat tempat sirih peraknya menghiasi lobi Hotel Dharmawangsa di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Ia juga mendesain perangkat makan porselen dengan menggunakan motif batik. Energi kreatifnya juga tersalur dengan merancang perhiasan yang inspirasinya dari perhiasan keraton.

Setelah puluhan berkarya, Iwan membagikan sedikit kunci keberhasilannya. "Kuncinya adalah pendidikan dan riset. Kita sangat kurang dalam dua hal itu," kata Iwan yang selalu berkemeja batik dalam setiap acara, tetapi siap pula mengenakan celana pendek denim dengan kaus ketat ketika di rumah dan siap membatik. Iwan terus mendokumentasikan motif batik tua, termasuk milik Puri Mangkunegaran, Solo, ke dalam data digital dan ke atas kertas dengan bantuan pengusaha Rachmat Gobel. Data tersebut menjadi pegangannya dalam mengembangkan motif baru yang terus dia kembangkan sesuai selera zaman dengan tetap mempertahankan ciri khasnya, yaitu antara lain warna yang cerah dan motif berukuran besar.

Saat Ibu Negara Ny Ani Yudhoyono memintanya untuk ikut menyumbangkan pemikiran dalam pengembangan batik sebagai ikon nasional, Iwan mengutarakan keprihatinannya pada kondisi pendidikan, riset, dan kemampuan promosi Indonesia sebagai negeri batik. "Sekarang Malaysia ke mana-mana mengaku batik sebagai milik mereka. Itu karena kita tidak punya kemampuan public relations," kata penerima Anugerah Kebudayaan 2004 kategori individu peduli tradisi ini.

Dengan fasih Iwan menjelaskan di mana kekuatan batik Jawa yang menjadi dasar batik nasional yang tidak bakal bisa ditiru negara lain. Pertama adalah adanya teknik yang pasti, yaitu penggunaan malam dan canting; kedua, adanya pakem berupa ragam hias dengan dasar geometris nongeometris; ketiga, jalinan erat dengan budaya lain; dan ketidakterikatan dengan satu agama tertentu.

"Itu semua kekuatan batik Indonesia yang tidak dipunyai bangsa lain, tetapi untuk mengeluarkan potensi ini perlu pendidikan dan riset," kata Iwan kukuh. Keyakinan itu dan tugas baru yang disandangnya membuat Iwan bertekad akan mengabdikan hidupnya sebagai emban seni kriya Indonesia. "Tugas emban itu ya mengasuh, mendampingi, untuk semua, tidak hanya batik Iwan Tirta," tuturnya.

Dalam usianya yang semakin senja, Iwan malah merasa masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikannya. "Banyak hal yang harus dilakukan kalau ingin bertahan dan bahkan berkembang. Saya masih punya banyak ide untuk mengembangkan batik, perak, porselen, dan perhiasan, tetapi waktu kok rasanya singkat sekali," kata Iwan di rumahnya yang kental dengan suasana Indonesia. Dalam batinnya masih lekat keyakinan bahwa batik adalah hidupnya. "Saya tidak melahirkan batik, tetapi saya akan terus mengasuh dan memelihara yang ada. Seperti tugas emban."

Di teras samping rumahnya terpampang dua galaran yang padanya tersampir dua kain batik yang masih dalam proses pembuatan motif dengan menggunakan malam. "Saya masih terus membatik, tetapi malam hari. Lebih enak karena sepi. Saya akan terus membatik sampai tanganku buyutan," kata Iwan diiringi tawanya yang khas. Buyutan adalah istilah umum untuk tangan yang bergetar karena usia lanjut.



















14. Ida Bagus Tilem
Tenar dari Deraan Kemiskinan

Masa kanak-kanak dan remaja Ida Bagus Tilem terbelenggu di antara dinding-dinding kemelaratan. Lahir di desa Mas, Bali, 13 Desember 1939, Tilem berada di lingkungan keluarga pematung yang hidup serba kekurangan. Di masa kecilnya ia sudah berminat pada seni patung, yang akhirnya mendominasi seluruh kehidupannya.

Tidak seperti anak-anak sedesa yang menikmati kesenangan masa kecil, Tilem hampir setiap waktu duduk di atas tikar rotan di sisi ayahnya di rumah keluarga yang sempit, menyaksikan ayahnya mengolah batang kayu menjadi patung-patung yang indah.

Hidup di desa memang menyenangkan. Dan malam-malam yang menyenangkan bagi Tilem adalah mengikuti pamannya yang jadi dalang wayang kulit. Malam-malam lain, Tilem kecil mengikuti ayahnya yang mengadakan pertunjukan wayang orang dan tari topeng dari satu desa ke desa lainnya, serta mendengarkan kisah dari daun lontar yang dituturkan kakeknya.

Pengaruh sangat kuat dari dasar pemikiran dan filosofi hidupnya sejak usia remaja sampai saat ini yang masih ia hormati, telah menumbuhkan keinginan berkreasi yang menggebu-gebu di dalam dirinya. Ia berjam-jam berjuang bersama pahat dan potongan-potongan kayu sisa pahatan ayahnya.

Ayahnya, Ida Bagus Nyana, lahir tahun 1912, ketika mudanya diakui sebagai pemahat patung kayu yang sangat berbakat di Bali. Sebagai pria yang tenang dan penyabar, Ida Bagus Nyana, membiarkan putranya mengembangkan bakatnya yang tersembunyi, mengajarkan kepada anaknya tentang perlunya kesabaran, keuletan dan berkreasi secara total.

Perlahan-lahan Tilem kecil mengembangkan bakatnya, menggunakan alat-alat pahat ayahnya, mengukir binatang-binatang kecil, burung-burung dan tokoh-tokoh tradisional dalam kisah wayang dari bahan kayu yang ada.

Hasil karyanya ia jual kepada para turis dan satu-satunya toko barang-barang seni di Sanur. Ia pergi ke sekolah naik sepeda, dan pada usia sekolah lanjutan, ia biasa bersepeda ke Denpasar sejauh 20 kilometer setiap minggu siang. Ia menetap di kota, kembali Sabtu berikutnya untuk menekuni ukiran patung di kampungnya. Orang tuanya sangat miskin, karena itu ia harus menjual patung-patung hasil ukirannya untuk membiayai sekolahnya.



Tahun 1958, karena ayahnya tak mampu membiayai pendidikannya, Tilem memutuskan keluar dari sekolah, membuat sebuah studio seni ukir patung di rumahnya di desa Mas. Di situ ia menjual sendiri karya-karyanya untuk membantu kehidupan keluarganya.

Para pemuda sedesanya acapkali datang menemaninya. Ia sekarang mempekerjakan 100 pematung magang dan 100 pematung yang bekerja penuh waktu. Tilem mengolah habis-habisan lekak-lekuk yang serba feminin. Karya-karyanya memiliki gagasan besar dan daya dobrak visual yang memikat dunia. Ia melahirkan berbagai karya patung yang bernilai seni tinggi.

Mengenang pengalamannya ketika masih muda yang frustrasi di dalam berusaha mengembangkan pengetahuan dan kemampuan memahat dari bahan kayu yang sangat terbatas, ia menyediakan kayu dan alat pemahat buat mereka yang belum mampu membeli, membantu mereka memanfaatkan sedapat mungkin bahan yang ada, dan memberi kesempatan untuk menjual karya-karya mereka di studionya.

Sekarang, sebagai ayah dari empat orang anak, Tilem selalu menyadari pentingnya tradisi keluarga dan warisan budaya. Setelah perjalanan pertamanya ke luar negeri, ketika terpilih untuk mewakili Indonesia pada New York World Fair tahun 1964, ia melakukan berbagai pameran di luar negeri, seperti Thailand, Hong Kong, Australia, Jerman, Austria, dan Meksiko.

Ia memanfaatkan setiap perjalanannya untuk mengembangkan pengetahuan dan apresiasi seni, tetapi menemukan dirinya ingin segera kembali ke desanya untuk bertemu keluarga dan meneruskan karya-karyanya.

Kerja pematung menyatu dengan alam. Ukiran yang indah dan obyek manusia yang terukir di kayu, melukiskan perpaduan antara manusia dan alam. Tilem tak pernah kehabisan inspirasi. Pengalamannya di masa kanak-kanak, koleksi berbagai barang antik dan temuan-temuan selama perjalanannya ke luar negeri, merupakan sumber ide kreasinya yang baru. Setiap lekuk pahatan menjadi cap kemahirannya memahat.

Unsur penting dari karya Tilem adalah kecintaan yang dalam pada pekerjaannya. Ia merasa sangat bahagia tatkala duduk bersilang kaki dan bertelanjang dada di atas tikar rotan di rumahnya yang asri, secara total menekuni ukiran patungnya.











15. Irwan Hidayat
Generasi Ketiga Sido Muncul
Di tangan Irwan Hidayat, generasi ketiga, Sido Muncul menjelma menjadi industri jamu yang setara dengan industri farmasi. Sido Muncul siap mendunia dengan beragam produk jamu yang sudah teruji secara klinis. Tahun 2000, pemerintah telah memberi lisensi Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) kepada perusahaan jamu yang dirintis Sang Nenek, Ny Rakhmat Sulistyo dengan merek dagang Sido Muncul, sejak November 1951 itu.

Awalnya, Sido Muncul tidaklah terlalu istimewa, sama saja seperti industri jamu lain yang ribuan jumlahnya dengan beragam merek. Irwan Hidayat (kelahiran Yogyakarta tahun 1947), bersama empat orang adiknya sebagai generasi ketiga pemilik Sido Muncul, menerima warisan perusahaan pada tahun 1972 sesungguhnya sedang dalam keadaan kurang menguntungkan.
Perusahaan menanggung utang dan hampir tak memiliki aset yang berarti. Utang bahan baku, kalau dihitung-hitung, itu setara dengan 30 bulan omzet perusahaan. Aset pabrik hanya 600 meter persegi, itupun tanpa memiliki sebuah mesin pun. Irwan Hidayat, Presiden Direktur PT Sido Muncul, menggambarkan kondisi perusahaan yang demikian apa adanya sebagai warisan keluarga yang harus diselamatkan.

Mengapa Irwan menjadi penerima ketiga tongkat estafet kepemimpinan Sido Muncul, dari pendiri Ny Rakhmat Sulistyo kepada generasi kedua ayah Irwan, lalu dari ayah turun ke generasi ketiga Irwan Hidayat, agaknya adalah pertanda garis keberuntungan Sido Muncul. Logo perusahaan semenjak berdiri hingga kini tak pernah berubah, berisi foto Irwan Hidayat dengan neneknya. Saat bayi Irwan yang tampak rewel baru akan mau berhenti menangis jika ditimang oleh sang nenek.

Ketika terjadi clash-II tahun 1949, keluarga Sulistyo hijrah dari Yogyakarta menuju Semarang. Bayi mungil Irwan Hidayat ikut diboyong. Dua tahun kemudian perusahaan jamu Sido Muncul resmi berdiri, di Semarang. dengan membawa logo perusahaan foto Irwan Hidayat bersama neneknya.

Foto pendiri sebagai logo perusahaan jamu sedang trend, ketika itu, sama seperti logo jamu Nyonya Item dan Nyonya Kembar keluaran Ambarawa, demikian pula logo jamu Nyonya Meneer dari Semarang. Menurut penuturan Irwan Hidayat, ketika hendak memberi logo pada perusahaan jamunya, sang nenek berpikir kalau fotonya dan suami yang dipasang kelihatan aneh. Maka, sebagai cucu yang paling dekat jadilah foto Irwan Hidayat dipilih sebagai pendamping.

Sebagai bisnis keluarga yang dikelola turun-temurun, Irwan Hidayat mencoba tetap bertahan menghadapi pasang surut bisnis jamu. Dia percaya akan ada titik terang yang akan mencerahkan harapan dan kepercayaannya kepada industri jamu, sebuah produk tradisional khas Indonesia yang berfungsi menjaga kesehatan dan merawat kecantikan tubuh manusia. Karena jamu merupakan warisan nenek-moyang, yang sudah mendarah-daging di hati segenap warga masyarakat, wajar jika Irwan berharap masyarakat masih akan memberikan kepercayaan kepada jamu. Hingga tahun 1993 terang itu masih belum ditemukan.

Mau belajar
Irwan lalu menyadari bahwa telah terdapat banyak kesalahan yang pernah dilakukannya hanya karena ketidaktahuan. Di tahun 1993, secara tak terduga ia memperoleh pelajaran sangat berharga justru dari orang gila. Orang gila ini dengan terus terang menyebutkan bahwa jamu yang dibuat Irwan Hidayat pahit, tidak enak. Irwan kemudian berpikir keras bagaimana membuat jamu yang disukai. Pelajaran berharga lain masih diperolehnya. Dari biro iklan yang menolaknya mengajarkan, bahwa menjalankan bisnis harus dengan hati nurani. Dan dari tukang bajaj, diperolehnya pelajaran yang mengajarkan setiap kita mempunyai tanggungjawab sosial, beribalah dengan hati, bukan sekedar kewajiban.

Irwan berkesimpulan perusahaannya sebagai pioner industri jamu modern harus memiliki visi memberi manfaat lebih banyak kepada masyarakat, dan tidak mengejar keuntungan semata. Berdasarkan rasa tanggungjawab sosial itulah, Sido Muncul mengambil inisiatif memberikan anugerah tahunan Sido Muncul Award kepada setiap individu yang rela memberikan sebagian hidupnya untuk membantu sesama yang kurang beruntung, atau kepada individu yang peduli dan peka terhadap masalah sosial.

Di lain masa ketidaktahuan lain justru pernah menyelamatkan Irwan Hidayat. Tahun 1997 ketika banyak industri dan pelaku usaha terseok-seok karena hantaman badai krisis melanda ekonomi Indonesia, Sido Muncul justru membangun pabrik jamu modern dengan sertifikasi industri farmasi. Ia, yang tidak mempunyai utang dalam dolar AS, itu nekat membangun pabrik. Karena tidak tahu, dari Rp 15 miliar uang yang dianggarkan biaya pembangunan pabrik, itu membengkak menjadi Rp 30 miliar. Selain pabrik, laboratorium Sido Muncul juga distandarkan dengan laboratorium farmasi. Di kawasan pabrik seluas 32 hektar dia membangun laboratorium seluas 3.000 meter persegi berbiaya Rp 2,5 miliar, pabrik seluas tujuh hektar, termasuk pabrik mie. Di areal sama ikut dikembangkan sarana agrowisata seluas 1,5 hektar.

Makna kenekatan karena ketidaktahuan telah menyelamatkan, itu baru dimaknai oleh Irwan Hidayat setelah memperoleh buah dari kerja kerasnya. Tahun 2000 Departemen Kesehatan memberikan sertifikat Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) kepada PT Sido Muncul, sertifikat yang biasanya diberikan hanya kepada industri farmasi. Dengan CPOB lisensi pembuatan jamu Sido Muncul disetarakan dengan lisensi obat-obatan produksi industri farmasi. Karenanya, jika Sido Muncul yang industri jamu memperoleh sertifikat CPOB, ini adalah sebuah lompatan besar. Sebab sebelumnya kepada industri sejenis sertifikat paling tinggi yang pernah diberikan pemerintah adalah Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB).

Berdasarkan lisensi sertifikat COPB Irwan Hidayat menjadi berani lantang menyebutkan, “Kini kami siap menghadapi persaingan global.” Dengan CPOB “gengsi” jamu terangkat menjadi setara dengan obat. Atau, paling tidak jamu menjadi obat alternatif yang terbukti dapat diuji secara klinis keabsahan dan keilmiahannya sebagai obat. Dengan CPOB terbuka pula pasar yang seluas-luasnya bagi setiap jamu produksi Sido Muncul. PT Sido Muncul kini memiliki 150 item produk jamu baik yang bermerek (branded) maupun yang generik. Sedikit diantara produk bermerek unggulan Sido Muncul, antara lain Kuku Bima, Tolak Angin, Kunyit Asem, Jamu Komplit, Jamu Instan, STMJ, Anak Sehat, dan lain-lain.

Kelengkapan infrastruktur pabrik dan beragam produk untuk konsumsi masyarakat mulai dari kalangan bawah hingga atas, memberi kesempatan kepada Irwan untuk tinggal menggenjot pemasaran. Tak seperti kebanyakan direktur perusahaan lain Irwan Hidayat dengan rendah hati mau melepas jas dan dasi untuk keluar-masuk atau blusak-blusuk ke pasar-pasar tradisional yang pastinya beraroma khas tidak mengenakkan. Ia ingin mengetahui peta pasar produk-produk Sido Muncul, memahami persoalan yang muncul di lapangan, sekaligus berdialog dan bertatap muka langsung dengan para pedagang dan penjaja jamu gendong. Pada sisi lain, Irwan ingin agar para pedagang merasa terhormat ketika dikunjungi.

Tembus pasar asing
Keterbatasan pasar adalah kendala klasik yang dialami hampir oleh seluruh industri jamu di tanah air. Sebuah keterbatasan yang bermula dari kekurangpercayaan masyarakat terhadap jamu secara utuh. Padahal, “Semua dimiliki oleh jamu, ribuan spesies tanaman obat ada di Indonesia, ahli pembuat jamu banyak. Yang tidak dimiliki industri jamu adalah kepercayaan. Kepercayaan konsumen itu yang harus kita bangun,” kata Irwan Hidayat, yang sebelum menggeluti industri jamu pernah bekerja di sebuah perusahaan farmasi.

Ketidakpercayaan muncul sebab tak ada rujukan resmi untuk bertanya atau konsultasi tentang jamu. Jika obat-obatan farmasi mengenal dokter, demikian pula obat tradisional keluaran China mengenal istilah sinshe sebagai pengobat, tidak demikian halnya dengan jamu. Jamu tidak mengenal istilah tabib jamu, dokter jamu, sinshe jamu, atau pengobat jamu yang bisa berperan membangun kepercayaan publik bahwa jamu punya kredibilitas dalam hal kebersihan, uji toksisitas (tingkat peracunan), dan syarat-syarat lain yang harus dipenuhi oleh setiap obat.

Kekurangpercayaan itulah yang membuat “pohon” industri jamu tetap kerdil membonsai, perputaran uangnya hanya Rp 2 triliun pertahun. Itu pun dibagi kepada 650 perusahaan pabrik jamu. Bandingkan misalnya, dengan omset obat industri farmasi yang tahun 2003 mencapai Rp 20 triliun untuk 260 perusahaan. Untung saja, jika bahan baku industri farmasi sekitar 30 persen merupakan bahan baku impor maka industri jamu 99 persen bahan bakunya berasal dari bumi Indonesia.

Struktur pangsa pasar jamu dan obat Indonesia berbeda terbalik seratus delapan puluh derajat dengan China. Di sana obat-obatan tradisional jauh lebih besar pangsa pasarnya daripada obat modern. Karena itulah, dengan CPOB semangat Irwan tumbuh kuat berusaha keras agar bisa menembus pasar China. Semangat menembus pasar China bermakna dua hal: Memasuki pangsa pasar obat-obatan tradisional China yang masih terbuka luas, serta sebagai peredam ampuh atas maraknya obat-obatan tradisional China yang dibawa oleh para sinshe ke Indonesia. Mudahnya Indonesia ditembus produk China sangat kontras dengan ketatnya pemerintah China melindungi industri obat-obatan tradisionalnya.

Irwan Hidayat sesungguhnya tak ingin mempersalahkan siapapun. Ia lebih suka mengembangkan cita-cita sendiri: Bagaimana menjadikan industri jamu sebagai bagian dari pembangunan sistem kesehatan nasional. Ia sedang merintis langkah untuk mendidik para pengobat, seperti halnya China mengembangkan pengobatan dengan cara mendidik para sinshe. “Saya punya cita-cita ada pendidikan naturopath di Indonesia, sebenarnya Departemen Kesehatan bisa membantu ke arah sana, toh naturopath ini bukan hal baru, sudah diakui keberadaannya, dan kita punya potensi bagus di bidang ini,” ujar Irwan.

Diversifikasi produk
Irwan Hidayat dengan Sido Munculnya belakangan sudah berhasil menembus pasar Hongkong. Ia kini tinggal berusaha lebih keras lagi memasuki China. Irwan harus bisa membuktikan bahwa produknya lebih baik dari yang dimiliki China. Keberhasilan menembus pasar negara asing akan menjadi gaung yang berbalik untuk meningkatkan kepercayaan pasar dalam negeri.

Irwan Hidayat telah melakukan banyak hal untuk memupuk kepercayaan pasar dalam negeri dimaksud. Dengan melakukan diversifikasi produk, misalnya. Irwan Hidayat mulai mengembangkan produk berdasarkan brand atau merek terutama untuk minuman kesehatan dalam bentuk serbuk. Irwan juga mulai gencar mengembangkan produk lain karena yakin potensi pasarnya masih besar, seperti produk mie instan, permen kesehatan, dan minuman kesehatan dalam bentuk cair. Tidak tanggung-tanggung, Irwan menggunakan publik figur terkemuka dari kalangan atas sebagai bintang iklan untuk mempromosikan produk jamunya.

Tak kurang pengusaha papan atas sekaligus budayawan Setiawan Djodi, atau bintang pop Sophia Latjuba, pakar pemasaran Rhenald Kasali, dan kelompok musik yang sedang digandrungi “Dewa”, adalah sekelumit figur publik yang Irwan Hidayat gunakan untuk meningkatkan citra Sido Muncul. Dari kalangan selebritis lain ada Dony Kesuma dan Rieke Dyah Pitaloka yang mempromosikan minuman energi. Kehadiran figur-figur kalangan menengah-atas dalam iklan, itu dimaksudkan pula untuk membangun pasar vertikal bahwa kelompok masyarakat menengah-atas termasuk lintas etnis juga berhak minum jamu. Iklan-iklan Sido Muncul pernah berhasil mendapatkan penghargaan Anugerah Cakram tahun 2002 untuk kategori pengiklan terbaik.

Irwan Hidayat tetap tak merasa cukup memajang para selebritis sebagai alat mempromosikan Sido Muncul. Dia sendiri aktif turun ke bawah, terjun langsung ke pasar, menjumpai para distributor, agen, bahkan pedagang jamu gendong atau pemilik kios jamu yang sehar-hari memasarkan produknya. Irwan mempunyai 60 distributor tersebar di setiap kabupaten di Pulau Jawa, sebagai mitra usaha. Semua distributor itu ditunjang oleh keberadaan 120.000 orang pedagang jamu gendong dan 30.000 depot jamu. Jaringan pemasaran hingga ke tingkat yang paling bawah demikian, sebagai ujung tombak pemasaran, rajin dikunjungi Irwan. Setiap kunjungan selain menyentuh sifatnya juga membuat ikatan diantara perusahaan dengan jaringan pemasaran menjadi lebih kuat.

Bukti konkret keberhasilan model pemasaran menjambangi semua tingkatan, adalah, hanya dalam tempo tiga bulan semenjak diluncurkan, salah satu produk minuman kesehatan Sido Muncul bisa terjual 16 juta bungkus. Atau, sekitar seperenam dari pasar minuman kesehatan yang dikuasai oleh minuman sejenis yang telah lebih dahulu masuk dan memimpin pasar.

Iklan-iklan Sido Muncul pernah berhasil mendapatkan penghargaan Anugerah Cakram tahun 2002 untuk kategori pengiklan terbaik. Keseriusan Irwan Hidayat masih membuahkan beragam penghargaan lain. Seperti, penghargaan Kehati Award tahun 2001, Bung Hatta Award tahun 2002 sebagai perusahaan teladan, Produk Terbaik dari ASEAN Food Conference ke-8, Penghargaan Merek Dagang Indonesia tahun 2003, dan penghargaan dari Departemen Perhubungan dan Departemen Tenaga Kerja sebagai pelaku bisnis peduli lingkungan, karena telah menyelenggarakan program mudik Lebaran gratis buat para pedagang jamu yang telah dilakukan sejak tahun 1995.



















16. Kartika Affandi
Bunga Matahari Tanpa Busana
Pelukis perempuan tanpa busana ini menggelar pameran tunggal bertajuk Menengok Perjalanan Kehidupan. Sejumlah lukisan putri maestro Affandi, ini merekam suasana kejiwaan dan perjalanan hidupnya. Mulai dari pemandangan tubuh perempuan tanpa busana, sampai wajah yang teralingi kawat berduri dan "potret diri" berupa tanaman bunga matahari lengkap dengan kembangnya yang mekar.
Tak mudah menjadi anak seorang Affandi. Gaya ungkap empu seni lukis Indonesia itu, yang diakrabinya sejak usia dini, kelak membayangi kanvas-kanvasnya sendiri. "Saya tak mau menjadi papi ke-2," tutur Kartika menyebut ayahnya dengan panggilan "papi". Dorongan Affandi yang mengatakan bahwa kekuatannya justru pada dirinya yang perempuan telah membukakan jalan. Garis-garisnya kemudian lebih lembut dan terbukti ia lebih teliti. Ia juga sering memilih obyek yang khas seperti hewan menyusui.

"Ketika papi mengatakan: kamu telah menemukan diri sendiri, saya seperti terlepas dari beban," tutur Kartika, di tengah ruang pamerannya di Galeri Nasional di Jakarta, yang peresmiannya pada Kamis (28/10/2004) malam begitu meriah.
Di dalam pameran lukisan untuk menyongsong usianya yang ke-70 itu, ia menyajikan karya-karya penting sepanjang empat dekade kariernya. Boleh dikata, itu juga versi visual dari cuplikan hidupnya yang penuh drama.

Kartika dua kali menikah. Pernikahannya yang pertama dengan RM Saptohoedojo pada tahun 1952 berujung dengan perceraian pada tahun 1972 sesudah mendapat delapan anak. Ia menikah untuk kedua kalinya pada tahun 1985 dengan Gerhard Koberl, seorang warga Austria, namun bercerai tahun 2000.
Sejumlah lukisannya merekam suasana kejiwaan yang ia alami, sejak pemandangan tubuh yang meruyak, sampai wajah yang teralingi kawat berduri. Di dalam sebuah lukisan yang disebutnya "potret diri", ia menggambar tanaman bunga matahari lengkap dengan kembangnya yang mekar.

"Itu memang saya. Saya senang bunga matahari karena batangnya bisa sangat besar, tetap tegak walau agak doyong, dan bunganya selalu menantang, menghadap matahari," kata Kartika. "Di sisi lain, itu ada bunga matahari lain yang kecil, yang menjauh dari saya, itu Mas Sapto…." Potret diri yang khas ini rupanya bagian akhir pernikahan pertamanya. Ia menambahkan, "Saya tidak ada dendam lho, wong saya sampai sekarang yang mengurus kuburan Mas Sapto." Mungkin itu sebabnya ia memajang sebuah lukisan potret mantan suami tersebut di dalam pameran. Katanya, ia mengoleksi barang tiga buah lukisan tentang seniman yang kondang oleh kemampuan artistik sekaligus keahlian dagangnya ini.

Sesudah bercerai, praktis Kartika mendapat dukungan penuh dari ayahnya. Ia menuturkan, "Waktu itu enggak ada modal, ya cat, ya kanvas, jadi ikut papi. Ke mana-mana saya ikut melukis." Seperti ayahnya, Kartika menghabiskan waktu hanya di dalam hitungan jam, terkadang kurang dari tiga jam, untuk membuat lukisan. Ia juga menggunakan tangan dan jari-jarinya untuk menorehkan cat ke permukaan bidang gambar, merasakan sentuhannya, dan tidak teraling oleh alat seperti kuas.

Ayah dan anak ini sangat suka melukis langsung di tempat, di luar rumah. Kegiatan seperti ini, yaitu bepergian dan mendapatkan obyek menarik, termasuk para model, terus dilakukannya. Ia melakukan perjalanan ke berbagai daerah, juga ke berbagai negara untuk menemukan lingkungan dan suasana yang khas, yang cocok dengan perasaannya. Sebagian dari hasilnya ia pamerkan, seperti pemandangan sebuah warung kopi di Prambanan, potret dirinya di tengah salju, Tembok Besar di China, sebuah kampung di Penang, Malaysia, atau di Thailand.

Kartika lahir di Jakarta, 27 November 1934, sebagai anak tunggal dari pasangan Affandi dan Maryati. Pada usia dini ia ikut hidup "menggelandang". Konon ia sempat ikut tidur hanya beratapkan papan reklame. Di tengah tidur lelap, keluarga ini harus selalu siap kalau tiba-tiba jatuh hujan dan segera menggulung tikar. Tidur dilanjutkan kalau hujan sudah reda. Mereka mandi dan buang air di WC sebuah gedung bioskop.

Pendidikan formalnya hanya sampai kelas 1 SMP Taman Dewasa Taman Siswa Jakarta pada tahun 1949. Ia kemudian belajar di Universitas Tagore di Shantiniketan di India sebagai mahasiswa luar biasa berkat beasiswa dari Pemerintah India. Ia juga pernah belajar seni patung di Polytechnic School of Art di London. Tahun 1980 ia belajar teknik pengawetan dan restorasi benda seni di Wina, Austria, yang dilanjutkannya di Roma. Kini ia memang salah satu restorator lukisan di Indonesia. Menjadi restorator lukisan sangat menghabiskan waktu. Kartika mengaku menekuninya untuk membalas budi orangtuanya, untuk merawat lukisan-lukisannya.
"Apa yang bisa saya berikan kepada mereka? Mobil punya, rumah punya lebih hebat daripada saya," tutur peraih berbagai penghargaan dari sejumlah negeri ini. Yang terbaru adalah gelar doktor honoris causa dari Northern California Global University yang ia ceritakan dengan cukup bersemangat.

Hubungan dengan orangtuanya cukup dekat. Tak banyak dijumpai lukisannya tentang Maryati, tetapi ia cukup sering menggambar Affandi, yang dianggapnya selalu memberi dorongan untuk terus maju. Katanya sang papi memberinya nama "Kartika" karena itu adalah nama bintang yang tetap bersinar walaupun langit tengah mendung. Itu dianggapnya sebagai harapan agar ia juga tetap bersinar menghadapi hidup yang sukar. Semangat ayahnya ini ia rasakan terus mendorongnya bahkan sampai di usia senja kini. "Itu sebabnya wajah papi mengisi bulatan matahari di lukisan saya, sedangkan saya bunga mataharinya. Papi terus memberi semangat agar saya tetap kuat sesudah dua kali pernikahan saya gagal," kata Kartika, yang di tengah percakapan didatangi oleh cucu-cucunya untuk sekadar memberi salam. Seluruhnya, ia memiliki 19 cucu dan lima buyut.

Di usia senja ia masih bersemangat untuk terus melukis. Tahun ini ia sudah menghasilkan sekitar 30 lukisan, yang ia siapkan untuk pameran berikut. Ia juga merancang sebuah museum seni di kompleks rumahnya yang asri di tanah seluas satu hektar di kawasan Pakem, Yogyakarta. Untuk pengisi museum itu, kini ia sudah menyimpan sekitar 700 lukisannya, namun ia berpikir untuk memberi tempat pada karya sejumlah pelukis wanita lain.

Kartika cukup sering terlibat di dalam kegiatan sosial. Ia antara lain telah mendirikan Yayasan Karnamanohara yang mengelola sebuah sekolah tunarungu. "Saya ingin berbagi...," katanya.


17. Sudono Salim (Liem Sioe Liong)
Pernah Orang Terkaya Asia

Pengusaha Sudono Salim, yang bernama asli Liem Sioe Liong, sempat menduduki peringkat pertama sebagai orang terkaya di Indonesia dan Asia. Bahkan, konglomerat yang dikenal dekat dengan mantan Presiden Soeharto, ini sempat masuk daftar jajaran 100 terkaya dunia. Setelah krisis ekonomi dan reformasi politik, kekayaannya menurun. Dia pun memilih lebih lama tinggal di Singapura, setelah rumahnya Gunung Sahari Jakarta dijarah dan diobrak-abrik massa reformasi. Kerusuhan reformasi 13-14 Mei 1998, itu tampaknya membuat Oom Liem trauma tinggal di Indonesia.
Walaupun kadang kala dia masih datang ke Indonesia, tapi hampir tidak pernah lama. Semua bisnisnya di Indonesia dikendalikan oleh anaknya Anthony Salim. Di bawah kendali Anthony Salim, belakangan kerajaan bisnisnya bangkit kembali dan tak mustahil akan kembali menjadi terkuat di Indonesia. Sabtu 10-11 September 2005, Oom Liem merayakan hari ulang tahunnya yang ke-90 di Hotel Shangri-La Singapura. Acara berlangsung khidmat dan meriah dihadiri isteri, anak, cucu, dan kerabatnya. Dia tampak sehat dan bisa melangkah dengan sempurna. Dia juga menyampaikan sambutan dengan lancar.

Perayaan itu dihadiri sekitar 2.000 orang. Kebanyakan datang dari Indonesia dan sebagian dari Hongkong, Tiongkok, dan negara-negara lain. Para undangan mendapat pelayanan sebaik mungkin. Tidak hanya penginapan di Hotel Shangri-La, tetapi juga diberi tiket pesawat pulang-pergi (PP), meski banyak yang memilih membayar tiket sendiri. Beberapa mantan pejabat dari Indonesia tampak hadir. Di antaranya Harmoko, Akbar Tandjung, Fuad Bawazier, Bambang Soebijanto, dan Agum Gumelar. Juga beberapa pengusaha seperti Mochtar Riyadi, Prajogo Pangestu, A Guan, Ciputra, Rachman Halim, dan Bintoro Tanjung.

Pesta perayaan HUT 90 itu diadakan dua malam berturut-turut. Pada hari pertama untuk teman-teman dan relasi bisnisnya yang datang dari Indonesia dan Tiongkok. Hari kedua untuk undangan dari Singapura, Amerika, dan Eropa. Kedua acara itu, antara lain, diisi pemutaran film dokumenter Oom Liem. Film dokumenter itu mengisahkan perjalanan hidup Oom Liem. Di mulai tahun 1938, Tiongkok dilanda Perang Dunia Kedua. Lalu, Jepang menyerbu dengan kejamnya. Ketika itu banyak pemuda Tiongkok yang ingin menghindari perang, mereka pergi ke arah selatan (Indonesia).
Pemuda Liem yang kala itu berumur 21 tahun diperankan oleh aktor memakai kaus putih dan celana panjang putih memanggul bangkelan (karung kecil dari kain) yang berwarna putih jua. Beberapa saat anak muda Liem berdiri di atas bukit menghadap ke laut. Dia menatap ke laut yang luas. Di kejauhan, dia melihat sebuah kapal kecil yang sedang berlabuh. Dia melangkah menuju kapal itu dan naik. Setelah berlayar sekian lama, kapal itu mendarat di Surabaya. Saat itu dia berharap akan dijemput kakaknya yang sudah lebih dulu merantau ke arah selatan (nusantara). Ternyata, harapannya tidak terpenuhi. Selama empat hari dia tertahan di pelabuhan Surabaya. Tidak makan dan tidak minum. Imigrasi di Surabaya juga tidak membolehkannya keluar dari pelabuhan.

Sampai akhirnya, kakaknya datang menjemput. Liem dibawa ke Kudus untuk memulai bekerja di perusahaan rumahan, membuat kerupuk dan tahu. Di Kudus Liem berkenalan dengan gadis asal Lasem. Gadis itu sekolah di sekolah Belanda Tionghoa. Liem melamarnya, tapi orang tua si gadis tidak mengizinkan, lantaran takut anak gadisnya akan dibawa ke Tiongkok. Kekuatiran itu timbul melihat tampang Liem yang masih totok.

Tapi, Liem tak mau menyerah. Akhirnya lamarannya diterima dan diizinkan menikah. Pesta pernikahannya, bahkan dirayakan selama 12 hari. Maklum, keluarga isterinya cukup terpandang. Setelah menikah, Liem makin ulet bekerja dan berusaha. Usahanya berkembang. Tapi, ketika awal 1940-an, Jepang menjajah Indonesia, usahanya bangkrut. Ditambah lagi, dia mengalami kecelakaan. Mobil yang ditumpanginya masuk jurang. Seluruh temannya meninggal. Hanya Liem yang selamat, setelah tak sadarkan diri selama dua hari.

Kemudian, Liem pindah ke Jakarta. Seirama dengan masa pemerintahan dan pembangunan Orde Baru, bisnisnya pun berkembang demikian pesat. Pada tahun 1969, Oom Liem bersama Sudwikatmono, Djuhar Sutanto dan Ibrahim Risjad, yang belakangan disebut sebagai The Gang of Four, mendirikan CV Waringin Kentjana. Oom liem sebagai chairman dan Sudwikatmono sebagai CEO. Perusahaan ini bergerak di bidang perdagangan, ekspor kopi, lada, karet, tengkawang dan kopra serta mengimpor gula dan beras.
The Gang of Four ini kemudian tahun 1970 mendirikan pabrik tepung terigu PT Bogasari dengan modal pinjaman dari pemerintah. Ketika pertama berdiri, PT Bogasari berkantor di Jalan Asemka, Jakarta dengan kantor hanya seluas 100 meter. Kemudian tahun 1975 kelompok ini mendirikan pabrik semen PT Indocement Tunggal Perkasa. Pabrik ini melejit bahkan nyaris memonopoli semen di Indonesia. Sehingga kelompok ini sempat digelari Tycoon of Cement. Setelah itu, The Gang of Four ditambah Ciputra mendirikan perusahaan real estate PT Metropolitan Development, yang membangun perumahan mewah Pondok Indah dan Kota mMandiri Bumi Serpor Damai.
Selain itu, Oom Liem juga mendirikan kerajaan bisnis bidang otomotif di bawah bendera PT Indomobil. Bahkan merambah ke bidang perbankan dengan mendirikan Bank Central Asia (BCA) bersama Mochtar Riyadi. Belakangan Mochtar Riady membangun Lippo Bank. Ketika itu, Oom Liem pernah jadi orang terkaya di Indonesia dan Asia. Serta masuk daftar 100 orang terkaya dunia.Namun, seirama dengan mundurnya Presiden Soeharto dan akibbat terjadi krisis moneter, bisnis dan kekayaannya pun turun. Bahkan, Oom Liem terpaksa memilih bermukim di Singapura, setelah rumahnya di Gunung Sahari dijarah massa reformasi. Setelah situasi kembali membaik, usahanya yang dipimpin puteranya Anthony Salim dan para manajer profesional, kembali mulai bangkit.






18. Lazarus Eduard Manuhua, Wafat
Pendiri "Harian Pedoman Rakyat"
Pendiri harian Pedoman Rakyat yang terbit di Makassar, Lazarus Eduard Manuhua, meninggal dunia dalam usia 78 tahun, di Rumah Sakit Hikmah Makassar, Selasa malam 25 November 2003, akibat stroke yang telah dideritanya sejak tahun 1991. Tokoh pers kelahiran Ambon, 4 Juni 1925 yang biasa disapa para kerabatnya Tete, ini meninggalkan delapan anak, enam putri dan dua putra. Istrinya, Johanna Leonora Wacanno, telah berpulang lebih dulu tahun 1996.

Manuhua menjadi wartawan sejak tahun 1943 di Kota Ambon untuk mingguan Sinar Matahari. Sebelum menjadi wartawan mingguan tersebut, dia beberapa kali mengirimkan artikelnya. Artikel pertama yang dimuat Sinar Matahari, yang kemudian selalu menjadi kebanggaannya itu, berjudul Apa Kewajiban Pemuda Indonesia. Ia menjadi redaktur di Sinar Matahari sampai tahun 1947. Setelah hijrah ke Makassar, pada 1 Maret 1947 dia mendirikan Pedoman Rakyat, koran tertua di Makassar. Sampai akhir hayatnya ia menjabat Pemimpin Umum Pedoman Rakyat.

Ia juga sempat menjadi Wakil Pimpinan Antara Makassar (1967-1970), Ketua PWI Cabang (1948) dan Ketua PWI Pusat (1988). Ia juga pernah menjabat sebagai Ketua kebaktian Rakyat Indonesia Maluku Makassar (1948-1950). Berbagai partai politik pun sempat diikuti, seperti Partai Indonesia Merdeka Ambon (1947) Partai Kedaulatan Rakyat (1948). Ia menyelesaikan pendidikan dasarnya di Ambon, Maluku. Sampai menyelesaikan Balai Pendidikan (Taman Siswa) tahun 1941, ia tetap di Ambon. Kemudian melanjutkan studi di Fakultas Sospol Unhas dan selesai 1988.

Penerima penghargaan 'Pena Emas' dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) juga memperoleh penghargaan Penegak Pers Pancasila (1989) saat menjabat pemimpin redaksi Pedoman Rakyat. Dalam kepemimpinan, ia memandang aset paling utama dari sebuah penerbitan pers adalah sumber daya manusianya. Oleh karena itu, selain memberikan yang terbaik bagi karyawan, ia juga mengupayakan kenyamanan kerja dengan membangun kantor Pedoman Rakyat berlantai lima. Saat itu kantor harian Pedoman Rakyat termasuk paling besar di KTI. enurut Dahlan Abubakar, pemimpin Redaksi Pedoman Rakyat , di mata karyawannya, Tete termasuk orang yang sering berlaku unik di kantor. Ia sering berdiri mengintai di belakang wartawan yang sedang menulis berita. Kalau ada kesalahan dia baru menegur.Pemimpin yang senang berburu binatang ini sangat akrab dengan karyawan dan wartawan. "Tak ada sekat antara kami dengan dia," kata Dahlan. Begitu pula menyangkut disiplin, Tete sangat peduli bahkan pertama kali kena stroke tahun 1991, ia tetap masuk kantor. "Profesionalitas inilah yang hilang di kantor ini sekarang," tuturnya.

Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Oetama mengenang Manuhua sebagai tokoh pers yang moderat dan independen. "Sikap independen dan moderat yang menjadi ciri kategori koran-koran menemukan personifikasinya pada diri Lazarus Eduard Manuhua," kata Jakob Oetama dalam buku Abdi Pers LE Manuhua: Dari Ambon Ke Makassar Untuk RI, sebuah buku yang diterbitkan tahun 1996 untuk menyambut 70 tahun usia Manuhua. Dalam buku yang sama Tribuana Said, tokoh pers lainnya, menyebutkan, "Pak Manuhua mempunyai rasa kebersamaan dan kesetiakawanan yang tinggi antarsesama pers."

19. Naomi Susilowati Setiono
Pengusaha Batik, Mantan Kernet Bus

Kegetiran hidup tak menyurutkan perjuangan Naomi Susilowati Setiono (46) dalam menjalani kesehariannya. Dengan berapi-api, wanita sederhana ini menuturkan kisah hidupnya yang diawali sebagai tukang cuci baju, pemotong batang rokok, kernet bus antarkota, dan akhirnya menjadi pengusaha serta perajin batik lasem.

Semua ini karena kebaikan Tuhan, ujarnya mensyukuri perbaikan hidup yang dialaminya. Meski bukan pengusaha batik nomor wahid di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, perempuan peranakan Tionghoa ini sangat terkenal di dunia perbatikan, khususnya batik lasem. Hingga tak heran, rekan-rekannya memintanya untuk menjadi ketua cluster batik lasem, yang hingga kini belum diberi nama. Dalam waktu dekat, cluster ini akan dinamai menjadi semacam asosiasi perajin/pengusaha batik lasem.

Jenis batik lasem (atau laseman) yang perkembangannya jauh tertinggal dibanding batik solo dan yogya ini terus digeluti, meski masih menggunakan peralatan tradisional. Naomi yang memimpin Batik Tulis Tradisional Laseman Maranatha di Jalan Karangturi I/I Lasem, Rembang, ini mengerahkan 30 perajin guna mendukung usahanya. Selain mengemban status single parent, Naomi terkenal aktif sebagai pendeta di gereja setempat. Bahkan, akhir-akhir ini ia disibukkan dengan mengisi seminar maupun pemaparan ke berbagai instansi mengenai seluk-beluk batik lasem.

Ia juga tengah merintis pengaderan perajin batik ke sekolah-sekolah secara gratis. Kalau tidak kami sendiri yang mengader, siapa lagi? Tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah, ujarnya. Naomi mengaku pernah melontarkan gagasannya kepada Bupati Rembang Hendarsono (saat itu) untuk menyisipkan cara membatik ke dalam pelajaran muatan lokal. Sayangnya, ide ini tak ditanggapi dan dianggap tidak bisa berhasil.

Akhirnya, ia langsung turun ke sekolah-sekolah untuk menyampaikan gagasannya itu. Kini, ia masih menunggu tanggapan dari sekolah-sekolah. Jika masalah tempat, saya bisa meminjam balai desa, tak perlu keluar uang, ujarnya. Meski sangat sibuk, produktivitasnya tak berubah. Setiap bulan Naomi dan rekan-rekan pekerja di tempatnya menghasilkan rata-rata 150 potong batik tulis. Batik-batik bermotif akulturasi budaya Cina dan Jawa ini dikirim ke berbagai daerah, seperti Serang (Banten), Medan (Sumut), dan Surabaya (Jatim).

Naomi menjelaskan, usaha batik yang digeluti sejak tahun 1990 ini merupakan limpahan dari orangtua. Namun, ia tidak semata-mata menerima begitu saja. Pada tahun 1980, lulusan Sekolah Menengah Apoteker Theresiana Semarang ini mendapatkan masalah sehingga dikucilkan dari keluarga yang saat itu terpandang di wilayahnya. Ditolak dari keluarga yang telah mengasuhnya 21 tahun itu mau tak mau harus diterimanya. Ia pun pindah ke Kabupaten Kudus.

Di tempat ini ia menyingsingkan lengan baju dan bekerja sebagai pencuci pakaian. Tergiur penghasilan yang lebih tinggi, ia pindah sebagai buruh pemotong batang rokok di Pabrik Djarum Kudus. Karena kurang cekatan, ia hanya mendapatkan penghasilan yang sedikit, Rp 375 per hari. Padahal teman-teman dapat memotong rokok berkarung-karung, bisa mendapat uang Rp 2.000-an, ujar lulusan Sekolah Tinggi Theologia Lawang, Jatim, ini.

Ia hengkang dan berpindah sebagai kernet bus Semarang-Lasem. Singkat cerita, orangtuanya memintanya kembali ke Lasem. Itu pun dengan berbagai cemooh. Saya ditempatkan di bawah pembantu. Mau minta air dan makan ke pembantu. Saya juga tidak boleh memasuki rumah besar, ujarnya.Perlakuan ini ia terima dengan lapang dada. Sedikit demi sedikit ia mempelajari cara pembuatan batik lasem. Mulai dari desain, memegang canting, melapisi kain dengan malam, hingga memberi pewarnaan diperhatikannya dengan saksama.

Hingga suatu hari, tahun 1990, orangtuanya memutuskan tinggal dengan adik-adiknya di Jakarta. Usaha batik tidak ada yang meneruskan. Dari titik inilah Naomi dipercaya untuk melanjutkan usaha batik warisan turun-temurun ini.

Kesempatan ini digunakan Naomi untuk mengubah sistem dan aturan main bagi pekerjanya. Ia memberi kesempatan kepada perajin untuk menunaikan ibadah shalat. Sesuai kewajiban yang ingin mereka jalankan, saya memberikannya. Ini salah satu sistem baru yang saya terapkan, ujarnya yang pernah bercita-cita sebagai arkeolog.

Suasana kerja juga bukan lagi atasan dan bawahan. Ia menganggap perajin adalah rekan usaha yang sama-sama membutuhkan dan menguntungkan. Jika siang hari turun tangan dalam memproses batik, malam hari digunakannya untuk membuat desain.

Hingga kini, ibu dari Priskila Renny (23) dan Gabriel Alvin Prianto (17) ini masih tetap eksis di dunia perbatikan. Perlahan namun pasti, batik lasem mulai menggeliat dan dilirik kembali oleh para pencinta batik, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. (Ichwan Susanto, Kompas, 23 Januari 2006)





















20. Nanny Anastasia Lubis
Pendiri Sekolah Tari Namarina
Nanny Anastasia Lubis, puteri Batak kelahiran Tegal, Jawa Tengah, 24 November 1926, pendiri sekolah tari (balet dan senam) terkemuka di Indonesia, Namarina (30 Desember 1956). Dia memimpin Namarina sampai akhir hayatnya, 1993. Kemudian puterinya, Maya Tamara, mengambilalih tongkat estafet kepemimpinan Namarina.
Pada mulanya, Nanny mendirikan dan mengelola Namarina Dancing di bawah Yayasan Namarina, yang didirikannya. Namun, yayasan itu kemudian diubahnya menjadi usaha perorangan. Sebab, sekolah yang dikelola yayasan ternyata sulit, karena pengurusnya lebih dari seorang. anny, anak kedua dari tiga bersaudara, ini menggunakan nama Namarina, yang diambil dari bahasa Tapanuli, (arti harfiah: yang beribu) bermakna ''dipersembahkan kepada ibunda''. Walaupun pada mulanya sang ibu tidak senang Nanny aktif dalam olahraga dan tari. Tapi dia merasa dukungan dan jasa ibunya sangat besar dalam perjalanan hidupnya.

Nanny sudah gemar menari sejak usia 12 tahun (1938). Dia sering mengunci diri latihan tari secara diam-diam di depan cermin, setelah pulang sekolah. Apalagi pada saat menjelang pesta kenaikan kelas di sekolahnya Eerste Europese Lagere School, Jakarta. Penontonnya kebanyakan orang Belanda. Suatu ketika seorang penonton Belanda itu mengumpat, ''Lho, ada orang hitam turut menari? Tapi, koq paling bagus?'' Mendengar hal itu, Nanny dongkol meski di sisi lain ada rasa senang mendapat pujian. Hal itu, membuat Nanny semakin giat berlatih.
Kemduian, tahun 1954, atas dukungan orangtuanya, Nanny belajar di Teachers Training Courses Ballet & Gymnastics, Hamburg, Jerman Barat. Kemudian ke Singapura, Jepang, dan Inggris. Sepulang dari negara-negara itulah dia mendirikan Namarina, di Jalan Cimahi 18, Jakarta. ejak didirikan, nama Namarina langsung melejit. Namarina juga mengajar aerobik disko, dengan gerak-gerak yang diciptakan sendiri. Hampir setiap tahun mementaskan karya-karyanya di beberapa kota, terutama Jakarta dan Bandung. Bahkan sejak 1981, Maya Tamara, putri bungsunya, lulusan London, 1980, pun bergabung menjadi pimpinan artistik. Sejak itu, semua ciptaannya di bawah pengawasan Maya
Dalam rangka setenga abad Namarina, Maya menyelenggarakan pertunjukan bertema Pointe of No Return di Gedung Kesenian Jakarta, 30 Desember 2006 dan 20-21 Januari 2007.

Menurut Maya Tamara, Pimpinan dan Direktur Artistik Namarina, Pointe of No Return menggambarkan perjalanan NAMARINA 50 tahun dalam 3 rentang waktu : THE BEGINNING – THE GROWTH – THE FUTURE. Repertoar ini berkolaborasi dengan iringan piano ‘ duo Iravati & Aisha-YPM' serta ‘Indonesian Traditional Music Performance oleh Irwansyah Harahap-SUARASAMA’, dan kostum yang di desain oleh Ary Seputra.
21. Pandji Wisaksana
Pengusaha Peduli Mata
Sejarah profesinya sangat panjang. Dari petugas Palang Merah, wartawan, hingga pengusaha pun pernah disandangnya. Namun, di tengah kesibukannya, perhatiannya tidak lepas dari orang-orang buta. Di dunia usaha dia dikenal sebagai orang yang memelopori pembuatan peralatan rumah tangga dari plastik bermerek Pioneer. Dialah Pandji Wisaksana, pria kelahiran Bandung, 25 Juni 1925, pengusaha yang telah meniti karier sejak zaman pendudukan Jepang. Perhatiannya kepada orang buta juga telah dimulai sejak muda. Pada tahun 1968, bersama Ny Nani Ali Sadikin, Pandji mendirikan Bank Mata.
Hingga kini, di masa pensiun, Pandji masih aktif menggalang dana bagi tunanetra dan mereka yang mempunyai masalah mata. Dia masih menjabat sebagai Penasihat Bank Mata Indonesia Pusat dan masih bolak-balik ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo untuk menjenguk orang-orang yang menjalani operasi katarak. Awal Januari lalu dia juga menerbitkan sebuah buku biografi dirinya berjudul Mata Hati Sang Pioneer Indonesia. Di bagian belakang buku itu tertulis pemberitahuan, semua hasil penjualan buku akan disumbangkan untuk menanggulangi kebutaan yang disebabkan katarak pada masyarakat kurang mampu.
Keterlibatan Pandji pada perkumpulan filantropi dunia, Lions Club, sejak tahun 1971 agaknya juga membuka jalan lebar buat Pandji untuk menolong orang buta. Dengan memakai bendera Lions Club, tidak terhitung lagi kegiatan yang diprakarsai Pandji untuk menolong orang buta. Dari membagikan 10.000 tongkat putih, kampanye kepedulian pada orang buta, hingga ikut serta dalam proyek Flying Eye Hospital dari Amerika Serikat pada tahun 1982. Flying Eye Hospital adalah sebuah pesawat DC-8 yang diubah menjadi rumah sakit mini khusus untuk bedah mata yang dilengkapi dengan sembilan kamera audiovisual.
"Seperti memberikan dunia baru bagi mereka," ujar Pandji memulai pembicaraan tentang kiprahnya pada orang buta.
Bukan tanpa latar belakang Pandji tertarik menolong orang buta. Ayahnya, almarhum Phan Jam Soe, adalah penyandang tunanetra akibat bekerja di tambang timah di Pulau Belitung. "Ayah sudah melakukan berbagai cara pengobatan hingga ke Bandung, tetapi tidak sembuh juga. Malah akhirnya buta," kenang Pandji yang lahir di Bandung, 25 Juni 1925.
Walau buta, Phan Jam Soe tidak ketinggalan informasi. Setiap sore dia meminta salah seorang pegawainya untuk membacakan buku atau koran. "Ayah tidak seperti orang buta. Penciuman dan pendengarannya yang tajam membuat dia bisa bekerja dan tahu banyak hal. Dia sukses sebagai pedagang," tutur Pandji yang pernah bercita-cita menjadi dokter mata.
Kiprah Pandji sendiri di bidang sosial sebenarnya sudah dia rintis sejak muda. Ketika Jepang menduduki Indonesia pada tahun 1945, Pandji yang bekerja sebagai wartawan di Bandung Herald, harian berbahasa Mandarin pertama di Bandung, selalu membawa tas P3K (pertolongan pertama pada kecelakaan) ke mana pun dia meliput. Kebiasaan ini tumbuh karena sejak berusia 12 tahun Pandji ikut dalam kegiatan pandu. Di situlah Pandji belajar untuk peduli kepada sesama.
"Ketika Jepang menjajah, sering terjadi letupan perlawanan Jadi, setiap kali bekerja, saya melakukan dua tugas. Pertama, sebagai peliput berita. Kedua, sebagai pembantu petugas Palang Merah. Puncaknya adalah peristiwa Bandung Lautan Api," cerita Pandji yang mengisi tas P3K-nya dengan perban, kapas, alkohol, obat antibiotik, obat merah, dan boorsalep, yang semuanya disiapkan dengan dana pribadi. uami dari Trijuani dan ayah lima anak ini telah menerima berbagai macam penghargaan, antara lain Satyalancana Pembangunan dari Presiden RI (1983), Pengusaha Teladan DKI dari Gubernur DKI (1977), International President’s Award dari Lions Club International (1989), dan penghargaan dari Menteri Sosial (1999).
Penghargaan itu juga diberikan karena kepeloporannya di industri plastik. Pandji yang pertama kali membuat sikat gigi dari nilon di Indonesia pada tahun 1954. Semula sikat gigi yang ada di pasaran memakai bulu babi sebagai sikatnya. Pandji juga yang pertama kali membuat pipa air plastik, menggantikan pipa besi pada tahun 1963. Namanya pralon. Nama ini akhirnya populer untuk menyebut pipa plastik. Pandji pun mendapat julukan "Bapak Pralon Indonesia". Dia menyumbang pipa pralon secara gratis untuk pembangunan Masjid Istiqlal. Pada tahun 1968, perusahaan pralon ini dia lepas dan diberikan kepada salah seorang sahabatnya.
Di usia yang boleh dibilang lanjut ini Pandji tetap sehat. Flu dan batuk pun jarang hinggap di tubuhnya. Ini karena dia rajin melakukan fitnes. Setiap kali cek kesehatan, hasilnya selalu menggembirakan dan dia tidak pantang makanan apa pun. Kunci dari semua keberhasilannya karena dia selalu memegang pepatah China, tian shang you tian, di atas langit masih ada langit. Pepatah ini bisa diartikan untuk tidak sombong dengan selalu mensyukuri apa yang dimiliki.
Lebih dari 30 tahun ia menekuni bisnis karet dan plastik. Biasa dipanggil Panji, ia dijuluki ''Raja Plastik'' dan ''Bapak Pralon'', orang pertama yang memperkenalkan pipa plastik di pasaran Indonesia. Setelah lulus SM Bandung English School, anak keempat dari sepuluh bersaudara ini belajar bahasa Jepang. Ia mulai membantu usaha orangtuanya, pengusaha angkutan di Bandung, yang pada zaman Jepang berdagang tembakau dan hasil bumi. Sebagai sambilan, Panji mengajarkan bahasa Jepang kepada seorang Cekoslovakia -- bekas pegawai pabrik sepatu Bata -- yang berjualan ban bekas buat sepeda. ''Saya pun menjadi salesman- nya,'' ia mengenang awal kariernya.

Pecah revolusi kemerdekaan, ia bergabung dengan Palang Merah Indonesia, dan pernah menjadi wartawan Bandung Herald. Kembali ke bisnis, ia bermodalkan tiga truk, meneruskan usaha orangtuanya. Tetapi, ''Bidang industri ternyata lebih cocok buat saya,'' tuturnya.Berkenalan dengan Wong Haking, pengusaha sikat gigi dari Hong Kong, Panji mendirikan dan menjadi direktur Pabrik Sikat Gigi Haking di Jakarta, 1954. Diversifikasi usaha dilakukannya dengan mendirikan PT Siliwangi Knitting Factory, 1955.

Panji mendirikan PT Vitafoam Indonesia, patungan PT Pioneer Plastics Ltd., yang dipimpinnya sejak 1964, dengan Inoue MTP Ltd., dan Vita International, 1975. Sejak itu semua barang produksinya tidak lagi memakai merk Haking, tetapi Pioneer. Menyerap lebih dari 800 tenaga kerja, enam perusahaan Panji kini dipimpin dua anaknya yang lulusan sekolah di luar negeri. Ia sendiri masih mengawasi kegiatan usahanya lewat seperangkat komputer di ruang kerjanya. Omset dan pajak? ''Ah, perusahaan kami kecil,'' katanya merendah.

Panji menikah dengan Tri Juanni, dan dikaruniai empat anak. District Governor 307 Lions Club International ini juga salah seorang pendiri Bank Mata DKI Jaya, Ketua Umum Yayasan Panji Sejahtera, dan Wakil Ketua Yayasan Universitas Trisakti. Sebagai Pengusaha Teladan 1977, ia menerima Piagam dari gubernur DKI Jaya. Pada 1981 ia menerima Asia Award untuk bidang bisnis plastik. Dari pemerintah RI ia menerima Satya Lencana Pembangunan, 1983.

Di kala senggang, ia menggemari golf, renang, dan piknik. (PDAT)

22. Putera Sampoerna
Penjemput Pasar Masa Depan
Putera Sampoerna, mengguncang dunia bisnis Indonesia dengan menjual seluruh saham keluarganya di PT HM Sampoerna senilai Rp18,5 triliun, pada saat kinerjanya baik. Generasi ketiga keluarga Sampoerna yang belakangan bertindak sebagai CEO Sampoerna Strategic, ini memang seorang pebisnis visioner yang mampu menjangkau pasar masa depan.
Berbagai langkahnya seringkali tidak terjangkau pebisnis lain sebelumnya. Dia mampu membuat sensasi (tapi terukur)dalam dunia bisnis. Sehingga pantas saja Warta Ekonomi menobatkan putra Liem Swie Ling (Aga Sampoerna) ini sebagai salah seorang Tokoh Bisnis Paling Berpengaruh 2005. Sebelumnya, majalah Forbes menempatkannya dalam peringkat ke-13 Southeast Asia’s 40 Richest 2004.
Putera Sampoerna, pengusaha Indonesia kelahiran Schidam, Belanda, 13 Oktober 1947. Dia generasi ketiga dari keluarga Sampoerna di Indonesia. Adalah kakeknya Liem Seeng Tee yang mendirikan perusahaan rokok Sampoerna. Putera merupakan presiden direktur ketiga perusahaan rokok PT. HM Sampoerna itu. Dia menggantikan ayahnya Aga Sampoerna.
Kemudian, pada tahun 2000, Putera mengestafetkan kepemimpinan operasional perusahaan (presiden direktur) kepada anaknya, Michael Sampoerna. Dia sendiri duduk sebagai Presiden Komisaris PT HM Sampoerna Tbk, sampai saham keluarga Sampoerna (40%) di perusahaan yang sudah go public itu dijual kepada Philip Morris International, Maret 2005, senilai Rp18,5 triliun.

Pria penggemar angka sembilan, lulusan Diocesan Boys School, Hong Kong, dan Carey Grammar High School, Melbourne, serta University of Houston, Texas, AS, itu sebelum memimpin PT HM Sampoerna, lebih dulu berkiprah di sebuah perusahaan yang mengelola perkebunan kelapa sawit milik pengusaha Malaysia. Kala itu, dia bermukim di Singapura bersama isteri tercintanya, Katie, keturunan Tionghoa warga Amerika Serikat.

Dia mulai bergabung dalam operasional PT. HM Sampoerna pada 1980. Enam tahun kemudian, tepatnya 1986, Putera dinobatkan menduduki tampuk kepemimpinan operasional PT HAM Sampoerna sebagai CEO (chief executive officer) menggantikani ayahnya, Aga Sampoerna. Namun ruh kepemimpinan masih saja melekat pada ayahnya. Baru setelah ayahnya meninggal pada 1994, Putera benar-benar mengaktualisasikan kapasitas kepemimpinan dan naluri bisnisnya secara penuh. Dia pun merekrut profesional dalam negeri dan mancanegara untuk mendampinginya mengembangkan dan menggenjot kinerja perusahaan.

Sungguh, perusahaan keluarga ini dikelola secara profesional dengan dukungan manajer profesional. Perusahaan ini juga go public, sahamnya menjadi unggulan di bursa efek Jakarta dan Surabaya. Ibarat sebuah kapal yang berlayar di samudera luas berombak besar, PT HM Sampoerna berhasil mengarunginya dengan berbagai kiat dan inovasi kreatif.
Tidak hanya gemilang dalam melakukan inovasi produk inti bisnisnya, yakni rokok, namun juga berhasil mengespansi peluang bisnis di segmen usaha lain, di antaranya dalam bidang supermarket dengan mengakuisi Alfa dan sempat mendirikan Bank Sampoerna akhir 1980-an.
Di bisnis rokok, HM Sampoerna adalah pelopor produk mild di tanah air, yakni rokok rendah tar dan nikotin. Pada 1990-an, itu Putera Sampoerna dengan kreatif mengenalkan produk rokok terbaru: A Mild. Kala itu, Putera meluncurkan A Mild sebagai rokok rendah nikotin dan “taste to the future”, di tengah ramainya pasar rokok kretek. Kemudian perusahaan rokok lain mengikutinya.

Dia memang seorang pebisnis visioner yang mampu menjangkau pasar masa depan. Berbagai langkahnya seringkali tidak terjangkau pebisnis lain sebelumnya. Dia mampu membuat sensasi (tapi terukur)dalam dunia bisnis. Langkahnya yang paling sensasional sepanjang sejarah sejak HM Sampoerna berdiri 1913 adalah keputusannya menjual seluruh saham keluarga Sampoerna di PT HM Sampoerna Tbk (40%) ke Philip Morris International, Maret 2005.
Keputusan itu sangat mengejutkan pelaku bisnis lainya. Sebab, kinerja HM Sampoerna kala itu (2004) dalam posisi sangat baik dengan berhasil memperoleh pendapatan bersih Rp15 triliun dengan nilai produksi 41,2 miliar batang. Dalam posisi ketiga perusahaan rokok yang menguasai pasar, yakni menguasai 19,4% pangsa pasar rokok di Indonesia, setelah Gudang Garam dan Djarum. Mengapa Putera melepas perusahaan keluarga yang sudah berumur lebih dari 90 tahun ini? Itu pertanyaan yang muncul di tengah pelaku bisnis dan publik kala itu.
Belakangan publik memahami visi Tokoh Bisnis Paling Berpengaruh 2005 versi Majalah Warta Ekonomi ini ((Warta Ekonomi 28 Desember 2005). Dia melihat masa depan industri rokok di Indonesia akan makin sulit berkembang. Dia pun ingin menjemput pasar masa depan yang hanya dapat diraihnya dengan langkah kriatif dan revolusioner dalam bisnisnya. Secara revolusioner dia mengubah bisnis intinya dari bisnis rokok ke agroindustri dan infrastruktur.
Hal ini terungkap dari langkah-langkahnya setelah enam bulan melepas saham di PT HM Sampoerna. Juga terungkap dari ucapan Angky Camaro, orang kepercayaan Putera: “Arahnya memang ke infrastruktur dan agroindustri.” Terakhir, di bawah bendera PT Sampoerna Strategic dia sempat berniat mengakuisisi PT Kiani Kertas, namun untuk sementara dia menolak melanjutkan negosiasi transaksi lantaran persyaratan yang diajukan Bank Mandiri dinilai tak sepadan. Dia pun dikabarkan akan memasuki bisnis jalan tol, jika faktor birokrasi dan kondisi sosial politik kondusif.

23. Paulus Indra
Mengelola Kafe karena Hobi
Di lingkungan industri pariwisata, Paulus Indra bukanlah orang baru. Ia adalah pendiri perusahaan biro perjalanan Puri Tour. Karena perusahaannya aktif bergerak di lingkungan industri pariwisata, ia kerap kali menjamu turis-turis yang datang ke Indonesia dengan membawa mereka antara lain ke restoran-restoran yang terbaik. Bisnis pariwisata itu selalu berhubungan dengan semua yang serba ‘wah’ atau glamour. Semua turis ingin menginap di hotel yang terbaik, ingin makan makanan yang terenak, restorannya juga harus yang terbagus. Suatu ketika, timbul dipikirannya, kenapa tidak membuat restoran?

Untuk membuat suatu restoran yang bagus, CEO Puri Intirasa ini tidak mau coba-coba atau tanggung-tanggung. Harus total. Karena restoran atau Kafe adalah bisnis baru buatnya, ia harus belajar lagi dari bawah. ”Saya harus mempersiapkannya sebaik mungkin. Saya tidak mau cuma buka sebentar lalu tutup. Saya mau restoran atau kafe yang saya buka bisa maju,” katanya bersemangat. Ia pun mulai berpikir restoran apa kiranya yang akan mereka buka? Akhirnya, setelah lama menimbang-nimbang, Indra dan istrinya memilih Nasi Uduk sebagai menu utama yang akan mereka jual di restoran bakal dibuka. Lokasi yang dipilih, adalah dilingkungan perumahan Puri Kembangan, Jakarta Barat. Pada 1982, Restoran yang diberi nama Farini pun berdiri. Nama ini diambil dari nama ketiga anaknya Mario Fajar (32), Marco Hari (29), dan Maria Dini (27).

Indra dan Lucy Iskandar, sang istri pun sibuk melakukan survey harga-harga di pasar. ”Bagi saya ini adalah hal yang baru, tapi saya senang melakukannya,” kata Indra sambil mengenang saat pertama kali ia membuka usaha restoran. Ia dan istrinya harus bangun pagi-pagi guna berbelanja berbagai kebutuhan di pasar. Istrinya boleh dibilang chef utama yang mengawasi sendiri bagaimana nasi uduk dimasak. Selain itu mereka pun aktif dalam melayani tamu-tamu yang datang.

Agar restorannya diketahui oleh khalayak ramai, sebelum dibuka, Indra setiap hari menugaskan orang memasang spanduk yang berisi pengumuman misalnya, tujuh hari lagi Restoran Farini dengan menu nasi uduk akan dibuka, enam hari lagi akan dibuka, lima hari lagi akan dibuka, dan seterusnya.

Karena publikasinya begitu gencar ditambah lagi makanannya yang lezat, setiap hari terjadi antrian panjang tamu-tamu yang ingin mencoba nasi uduk Farini. Bahkan ketika itu jalanan di sekitarnya sampai macet karena banyaknya mobil yang parkir di depan restorannya. Omzet penjualan nasi uduknya sebesar Rp 2,5 juta per hari dengan menghabiskan sekitar 17 hingga 18 dandang. Pada saat itu omzet tersebut sudah cukup besar. Setelah tiga tahun mencoba dengan restoran nasi uduk, Indra pun mendapat semangat baru dan berani untuk melangkah lebih jauh lagi. Ia pun memutuskan hadir di Denpasar, Bali.

”Kali ini pilihan menu saya adalah seafood. Target pasar saya adalah turis-turis asing yang berkunjung ke Bali,” kata Indra. Saat ini ia memiliki tiga restoran sea food di Bali. Restoran yang pertama Mini Seafood Legian, di Legian. Kedua, Kuta Seafood, dan yang ketiga Bali Seafood juga di Kuta.

Survey Sampai ke Wina
Setelah membuka kegiatan di Bali, saya terpikir, kenapa tidak membuka usaha di Jakarta? Pertengahan 90-an, pendapatan perkapita penduduk Jakarta cukup tinggi, sekitar USD 10.000 per tahun. Selain itu banyak eksekutif muda yang sudah sering bepergian ke luar negeri. Banyak di antaranya lulusan luar negeri. Mereka ini memiliki gaya hidup yang berbeda. Tercetus gagasan dalam benak Indra untuk membuka sebuah kafe untuk kelas ini di Jakarta.

”Saya pun mengirim surat ke beberapa kedutaan asing yang terkenal dengan kafe-nya. Tapi Austria yang lebih cepat membalas surat saya,” kenang Indra yang dikenal sangat serius dengan setiap bisnis yang dilakukannya.

Membuka kafe yang benar-benar menjadi favorit pengunjung, lagi-lagi Indra tidak mau coba-coba. Ia pun memutuskan untuk berangkat ke Austria. Ia membawa timnya berangkat ke Wina untuk melakukan survey. ”Kami bangun pagi langsung menuju ke kafe, kami pindah dari satu kafe ke kafe lain hingga malam hari. Berhari-hari kami mencoba mempelajari gaya hidup kafe-kafe di Wina, akhirnya kami pun mantap.” Kata Indra yang ingin tahu apa sih kafe itu? Menurut Indra, ia dan timnya singgah di sekitar 60 kafe, di Wina Austria.

Namun demikian Indra dan timnya masih dua kali lagi datang ke Wina, Austria untuk memantapkan rencananya. Akhirnya pada 1997 Kafe Wien pun dibuka di Plaza Senayan. Di sini, para tamu yang datang selain dijamu dengan berbagai menu yang lezat, mereka pun dihibur dengan iringan musik klasik. Jadilah Kafe Wien sebagai kafe paling esklusif di Jakarta.

Membedakan Kafe dengan Restoran
Kita pernah bertanya kepada Indra apa sebenarnya perbedaan antara kafe dengan Restoran? Tiga kali bolak-balik Jakarta-Wina, membuat Indra menjadi ahli dalam hal kafe. ”Kalau Restoran kan biasanya buka pukul 11.00 sampai 15.00. Lalu tutup dan mulai buka lagi pukul 18.00 sampai dengan pukul 21.00 untuk makan malam. Sedangkan kafe bukanya dari pagi sampai malam.

Kalau tadinya kafe hanya menyediakan menu coffee dan pastri serta sandwich, kini kafe mulai menawarkan makanan seperti steak dan lainnya. ”cerita Indra. Kafe sebenarnya tempat diskusi tokoh-tokoh politik, budayawan, bisnismen, dan masing-masih tokoh memiliki kafe langganan tersendiri di mana mereka biasa menghabiskan waktu senggangnya.
Di kafe umumnya orang lebih santai dan tidak terlalu formal. Gaya menyantap makanan di kafe dibuat semudah mungkin dan tidak mengotori tangan. Sajiannya cepat dan lengkap. Waktu buka kafe lebih panjang dibandingkan restoran. Marios Place Setelah sukses dengan Kafe Wien, Indra kemudian membuka lagi berbagai kafe dan restoran.sebuah. Dari deretan kafe dan restoran yang sudah dibukanya antara lain Tator Coffee Boutique, Kafe Patio, Kafe Mario, Dermaga Foodcourt, Restoran Waroeng Pojok, dan Marios Place.

Semua kafe dan resto yang didirikan Indra memiliki keunikan masing-masing. Marios Place misalnya didesign untuk segala usia. Untuk anak muda oke, eksekutif oke, orang tua juga oke. Untuk memadukan berbagai keinginan ini, Indra menugaskan Asep R. Mulyadi, Manager Kafe Marios Place untuk menyusun berbagai program acara yang bisa mengakomodasi berbagai kelompok usia ini. Ada acara musik hidup setiap malam, antara lain Jazz Night, ada Cowboy Night, Latino Night, Top 40, dan masih banyak lagi program menarik lainnya. Oleh karena itu wajarlah kalau Marios Place sudah menjadi tempat favorit di kawasan Menteng kendati usianya satu tahun pada Juni yang akan datang.

Tak terasa, sudah 17 kafe dan resto yang didirikan Indra sejak lima tahun terakhir ini dengan jumlah pegawai sekitar 700 orang. Dari data yang tercatat, setiap bulannya sekitar 250.000 tamu datang dan menikmati makanan dan minuman di seluruh restorannya yang tersebar di Jakarta dan Bali. ”Saya berencana, membuka 13 restoran lagi dalam dua tahun mendatang, sehingga jumlahnya menjadi 30.” Kata Indra yang berkeinginan perusahaannya tercatat di Bursa Efek Jakarta.

”Tapi saya tetap akan berkonsentrasi di Jakarta,” tambahnya. Indra ingin santai dan tidak mau lagi repot mondar-mandir ke kota lain kecuali beberapa outlet yang akan segera dibuka di Makassar dengan sistim waralaba. Kalau dengan sistem waralaba, Indra setuju untuk membuka di kota-kota lain. Resep agar restoran dan kafenya sukses adalah ia harus hadir di semua restorannya sesering mungkin. Ia harus selalu menjaga kualitasnya.
Dari semua kafe yang telah ia dirikan, Kafe Tatorlah yang menjadi tempat favoritnya. Di sini ia bisa menikmati suasana kafe dengan suguhan kopi Arabica asli Tanah Toraja. ”Racikan kopi di kafe ini adalah racikan sendiri yang tidak bisa ditemukan di tempat lain.” Kata Indra berpromosi.

Kini, Indra sibuk mengelilingi kafe satu ke kafe lainnya. ”Ini pekerjaan saya. Melihat-lihat suasana, mencoba makanan atau minuman. Kelihatannya santai tapi serius,” kata lelaki yang lahir di Bengkulu, 14 Oktober 1944. Yang pasti, menurut Indra, ada lima hal penting yang harus ada di setiap kafe dan restorannya. Pertama makanan yang terbaik dengan rasa yang enak, kedua tempat yang menyenangkan dengan dekorasi yang nyaman, kebersihan yang selalu terjaga, hiburan yang bagus, dan servis yang terbaik. Kalau semuanya tersedia sudah pasti kafe dan restoran akan diserbu konsumen.






24. Retno Iswari Tranggono
Inspirator Kosmetik Indonesia

Retno Iswari Treggono, seorang inspirator kosmetik Indonesia. Ketua Himpunan Ilmuwan Kosmetika Indonesia dan Presiden Direktur PT Ristra Indolab, ini membuka usaha bidang kosmetika dengan berbasis ilmu medis. Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran UI, ini membagikan ilmu dan pengalaman dalam buku otobiografinya, The Entrepreneur Behind The Science of Beauty, Inspirator Kosmetik Indonesia, yang diluncurkan Senin 3/9/07.
Pendiri/Perintis Bagian Bedah Kulit dan Kosmetologi FK UI/RSCM (1970 ini mengaku heran, bila di zaman seperti sekarang ini masih ditemukannya kandungan berbahaya (formalin) dalam suatu produk kecantikan. Terkait dengan persoalan ini, Retno, Dosen Luar Biasa FMIPA Universitas Indonesia (UI) ini pun tampak sibuk mencari-cari referensi koleksi bukunya, dia berharap bisa memberi masukan pada Balai Pengawasan Obat-Obatan dan Produk Makanan (BPOM).
BPOM merupakan lembaga milik Negara yang memiliki otoritas pemberi labelisasi dan juga bertanggung jawab terhadap berbagai produk makanan, obat-obatan termasuk didalamnya kosmetik yang aman dikonsumsi masyarakat.
Wanita yang masih tampak cantik dan sehat pada usia 68 ini pun bercerita bahwa kejadian seperti itu, (maraknya zat berbahaya yang beredar di masyarakat) sering dia alami dan sudah terjadi sejak awal dirinya berpraktik sebagai dokter kulit sekitar tahun 60-an.
Retno pun menuturkan bahwa sekitar tahun 1970-an berbagai produk kosmetik asal Thailand, Taiwan dan China pernah membanjiri Indonesia. Selaku dokter ahli kulit ia melihat bahwa produk-produk tersebut tidak semuanya aman dikonsumsi masyarakat. Bahkan sebaliknya bisa menjadi racun. Pada tahun yang sama juga Retno mengkritisi soal banyaknya kosmetika yang tidak mencantumkan komposisi produk dalam kemasannya, lalu Retno melapor pada Departemen Kesehatan. Setahun kemudian dugaan Retno terbukti, produk-produk itu ternyata mengandung merkuri, sebuah zat yang berbahaya bagi organ tubuh manusia seperti otak, lever dan ginjal.
Peraih gelar Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran UI tahun 1968 ini juga menjelaskan panjang lebar mengenai kesalahpengertian konsumen soal berbagai produk dan perawatan kecantikan yang ditawarkan dengan berbasis teknologi modern, yang sebenarnya belum tentu cocok untuk digunakan di Indonesia. Retno mencontohkan soal chemical peeling (CP). CP merupakan proses pengelupasan kulit yang membuat lapisan dalam kulit menipis. CP ini sebenarnya hanya cocok diterapkan di negara-negara beriklim subtropik, seperti Eropa dan Amerika. Dan tidak cocok bila diterapkan di Indonesia yang beriklim tropis.
Pendiri dan pengajar Ristra Institute of Skin Health and Beauty Science ini memberi alasan dan menjelaskan secara rinci mengenai CP ini, pertama, perbedaan intensitas cahaya matahari antara iklim tropis dan iklim subtropis. Kedua, soal pigmen melanin kulit, orang Indonesia memiliki pigmen kulit melanin lebih besar dan banyak dibanding dengan kulit orang bule, hal ini membuat penyerapan sinar matahari kulit orang Indonesia lebih banyak dan akibatnya kulit akan bertambah hitam, atau bisa juga kulit akan menjadi merah seperti udang rebus akibat pengaruh dan masalah dengan pembuluh darah.
Adalagi contoh lain mengenai pemahaman yang keliru soal Sun Prptecting Factor (SPF), pada Tabir Surya. SPF ini berfungsi memberi perlindungan terhadap ultraviolet B, dan akan membuat pembentukan pigmen lebih cepat. Kalau untuk kulit orang Indonesia yang beriklim tropis, SPF ini membuat kulit malah jadi tambah hitam. Sementara untuk yang beriklim subtropics SPF membuat kulit jadi coklatt umumnya orang bule ingin kulitnya menjadi coklat. Sedang buat kulit orang Indonesia malah jadi tambah hitam.
Retno berupaya mengingatkan dan menjelaskan bahwa untuk daerah tropis seperti Indonesia, dibutuhkan SPF yang terintegrasi. “Prinsipnya, kita enggak bisa langsung pakai kosmetik asal negara-negara subtropik," jelas Retno.

Berawal dari Jerawat
Ketika remaja, Retno Iswari punya masalah dengan kulitnya yang berjerawat, yang membuatnya sedih. Lulusan SMA di Semarang ini pun melamar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI), Jakarta dan Institut Teknologi Bandung (ITB) di Bandung – dan diterima di kedua tempat itu. Lalu Retno memutuskan kuliah di FK UI. Ketika awal menjadi mahasiswa di FK UI Retno sudah mendapat julukan “janda Bopeng’ karena memang wajahnya yang memang ditumbuhi banyak jerawat.
Julukan ini tidak membuatnya berkecil hati tapi sebaliknya, menambah semangatnya belajar, setelah tiga tahun meraih gelar dokter, Is panggilan akrabnya, mengambil spesialisasi penyakit kulit dan kelamin, juga di FK UI, di program spesialis inji dia lulus tahun 1968. Is teringat saat program spesialisi kulit dan kelamin ini masih dianggap sebagai penyakit kotor pada pelaut, Selain itu Retno teringat pada Prof Dr M Djoewar, Kepala Bagian Kulit dan Kelamin UI yang mendorongnya untuk menggabungkan antara masalah kosmetik dan kesehatan. “Kalau kamu yakin ilmu itu diminati oleh para dokter dan masyarakat membutuhkan, dirikan dan kembangkan!" kata Retno mengutip perkataan Djoewari.
Retno berjuang dan akhirnya berhasil mendirikan Subbagian Bedah Kulit dan Kosmetologi FK UI/RSCM, dan menjadi kepalanya hingga 1981. Penggabungan ilmu medis dan perawatan kecantikan menurut Retno dia lalui melalui proses otodidak. Retno pun sadar kalau ilmu yang dia pelajari ini memang belum berkembang di Indonesia dan tentu berimbas pada ketersedian buku yang sangat terbatas. Diapun tah patah semangat, apalagi dia mendapat dukungan demikian besarnya dari keluarga, terutama suaminya, Suharto Tranggono, seorang kolonel TNI AU.
Karena keterbatasan itu, Retno terkenang pada sekitar tahun 1965 dia mendapatkan buku pertamanya berjudul The Structure and Function of The Skin yang membahas soal kecantikan dari sang suami yang juga seorang dokter. Buku itu diberikan sang suami, yang juga pernah menjabat sebagai Kepala RS Angkatan Udara saat dr Tranggono pulang dari Eropa untuk tugas belajar sebagai dokter AURI. Buku itu menurut Retno masih disimpan rapi dan selalu menjadi inspirasinya setiap saat. Kesempatan membuka usaha bidang kosmetika dengan menggabungkan ilmu medis yang dia punya, menurut Retno, berawal dari pengalaman pribadinya yang tanpa sengaja. Tahun 1963 tanpa sengaja Retno menyerempet bunga Bougenville milik Bo Tan Tjoa, pendiri Viva Cosmetic.
Perkenalan yang tanpa sengaja itu membuat Bo Tan Tjoa mengundang Retno untuk menjadi guru di Viva Health and Beauty Institute, miliknya. Ditempat itu Retno mendapat kesempatan meneliti berbagai hal mengenai kecantikan kulit, termasuk penyebab timbulnya jerawat, dan sekalian menemukan obat penangkalnya. Selain itu, Dosen FK UI yang juga dokter spesialis kulit di RSCM ini sering kali menerima keluhan masyarakat mengenai ketidak cocokan pemakaian kosmetika yang membuat kulit mereka menjadi rusak. “Awalnya, saya berikan resep obat jerawat dan bedak berdasarkan konsep kesehatan. Tapi banyak pasien mengeluh, karena obat dan bedak yang diracik apotek menurut mereka berbau tidak enak dan putih seperti topeng kalau dipakaikan pada muka,” papar pendiri Subbagian Bedah Kulit dan Kosmetologi FK UI/RSCM ini.
Dari pengalaman-pengalaman ini akhirnya membuat Retno tergugah melakukan serangkaian penelitian. Mulanya, dia memberikan resep ke apotek untuk meraciknya menjadi obat. Tapi, hasil racikan apotek tidak persis seperti yang dia resepkan. Ia pun memutuskan meracik sendiri produk kosmetik itu di garasi rumahnya, Perumahan Angkatan Udara Kemayoran, Jakarta Pusat. Tak disangka obat “racikan” yang dibuatnya mendapat repon, ini bisa dilihat dari animo masyarakat yang memesan semakin hari kian banyak. Awalnya, Retno mengaku gamang ketika mulai terjun menjadi pebisnis, apalagi dia seorang dokter. Namun akhirnya Retno memutuskan unrtuk membuka usaha sendiri. “Saya berpikir bagaimana kalau produk itu saya kembangkan,” tutur nenek bercucu enam ini.
Tahun 1981 sebagai tonggak sejarah dirinya mulai menerjuni bidang usaha kosmetika secara lebih intensif dan profesional. Bersama suaminya, Suharto Tranggono, kolonel Angkatan Udara (purn) dan bekas Kepala RS Angkatan Udara.Retno mendirikan PT Dwi Citra Utama dengan label produk Ristra dengan modal awal sebesar Rp 40 juta, modal ini didapat dari hasil penjualan tanahnya di Sukabumi. Kemudian nama Ristra sendiri diambil dari nama pasangan suami istri ini, Retno Iswari dan Suharto Tranggono. Diperusahaan kosmetik ini suaminya, mengurusi soal manajemen dan Retno sendiri berkutat pada research and development..
Menyinggung soal keunggulan dari bisnis produk Ristra “racikan” Retno ini bisa dilihat dari segi kualitas produknya yang mengutamakan kesehatan kulit, menjaga keamanan kulit dan yang terpenting menyesuaikan produk dengan kultur kulit orang Indonesia, selain itu dia terus melakukan inovasi dan penelitian teknologi kosmetika tiada henti. Dalam buku otobiografinya, The Entrepreneur Behind The Science of Beauty, Inspirator Kosmetik Indonesia, Retno Tranggono yang diluncurkan Senin (3/9), juga menyinggung soal posisi bisnis produk Ristra yang berbeda dengan produk-produk tradisional lainnya yang sudah ada di masyarakat dan dikenal cukup lama.
Hingga sekarang produk Ristra milik Retno ini berkembang pesat dan berhasil bertahan selama 24 tahun. Saat ini Ristra telah mememiliki enam cabang klinik yang tersebar di Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya. Beberapa perusahaan internasional, seperti Sara Lee dan British Petroleum, sempat menawar untuk membeli perusahaan itu. Tapi, semua tawaran itu ditolak Retno.
Perjalanan usaha yang dilakoni Retno ini bukan berarti selalu berjalan mulus, Retnopun bertutur pada tahun 1987 Ristra pernah menghadapi masalah, pernah mengalami rugi sekitar lima ratus milliard. Peristiwa ini terjadi bukan karena produknya tidak laku di pasaran, akan tetapi uangnya tidak masuk perusahaan karena ditipu orang. Saat itu modal yang dimiliki Retno di Bank hanya tersisa Rp 10 juta dengan terpaksa Retno harus meminjam modal di bank. Meski merugi, Ristra tetap bertahan dan bangkit lagi serta bertahan hingga sekarang.. Bagi Retno, turun-naik sebuah usaha itu lumrah, layaknya roda kehidupan.
Saat ini Retno bermaksud menyerahkan usahanya kepada pebisnis yang lebih professional, Dia berharap, ditangan pebisnis yang lebih muda, usahanya ini akan lebih maju. Lalu kemanakah Retno? Dia mengaku akan lebih berkutat dibalik layar. Dan obsesinya yang mau mau kuliah lagi di jurusan filsafat.
















25. Soedarpo Sastrosatomo
Pengusaha, Pejuang Revolusi
Pemilik perusahaan Samudera Indonesia, Pendiri Bank Niaga dan Pendiri Soedarpo Corporation Soedarpo Sastrosatomo, seorang pejuang revolusi, rekan seangkatan Muhammad Hatta. Pria kelahiran Pangkalansusu, Sumatera Utara, 30 Juni 1920, itu meninggal dunia di Rumah Sakit Medistra, Jakarta, Senin 22 Oktober 2007, pukul 04.45, akibat usia lanjut. Dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta, Senin pukul 14.30 WIB (22/10/2007). Meninggalkan seorang istri, Minarsih Wiranatakoesoemah (84), dan tiga anak, yakni Shanti Poesposoecipto (59), Ratna Djuwita Tunggul (57), Chandra Leka Malimulia (55), serta enam cucu dan dua cicit.

Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, ia adalah orang pertama yang dikirim Soekarno ke Amerika Serikat untuk urusan perdagangan. Pada masa perjuangan ia juga merupakan rekan seangkatan Muhammad Hatta. Soedarpo merupakan pemilik perusahaan Samudera Indonesia yang bergerak di bidang pelayaran, pendiri Bank Niaga, dan pendiri Soedarpo Corporation. Di rumah duka para pelayat terus berdatangan, di antaranya Wakil Presiden Jusuf Kalla, dan sebelumnya sejumlah menteri Kabinet Indonesia Bersatu. "Kita kehilangan seorang pejuang, pengusaha," kata Wapres.

Hari Kamis, 19 April 2007, Soedarpo duduk di kursi roda dengan alat bantu pendengaran. Penyempitan pembuluh darah di otak amat membatasi geraknya. Meskipun dengan penuh perhatian Soedarpo berusaha mengikuti perbincangan Kompas dengan sang istri, ia tak banyak berkata-kata. Selama perbincangan, hanya dua pesan yang ia sampaikan, tentang "tugas" kehidupan yang sudah harus selesai bagi dirinya dan harapan yang ia titipkan bagi orang-orang muda.

"Kalaupun masih ada cita-cita, sekarang ini sudah harus saya lepaskan karena saya sakit dan penyakit ini, menurut saya, suatu peringatan bahwa sudah harus cukup semuanya ini bagi saya," ujarnya. Melanjutkan ucapan itu, Soedarpo mengatakan, satu-satunya harapan yang ia inginkan terwujud adalah melihat anak-cucu dan generasi memberdayakan diri mereka untuk mengisi kemerdekaan dengan kemandirian berkarya. "Kemerdekaan di negeri ini masih kemerdekaan administratif. Banyak urusan di negeri ini masih dikerjakan orang asing. Makanya, jangan gampang saja jadi pegawai negeri, kerjakan yang di luar itu. Isi kekosongan di masyarakat," tuturnya. (Kompas, 23 Oktober 2002)
SOEDARPO SASTROSATOMO
PDAT: Usia Darpo baru beranjak 30-an tahun ketika menjadi atase pers di Kedutaan Besar RI di Washington, 1950-1952. Tetapi karier diplomat itu ia lepaskan. Soedarpo Sastrosatomo kemudian dikenal sebagai pengusaha tangguh dengan julukan ''raja kapal'' Indonesia.

Semasih duduk di AMS (SMA) di Yogyakarta, putra Almarhum Sadeli Sastrosatomo, hooft mantri opium regie yang juga pernah menjadi aktivis Boedi Oetomo itu, ingin menjadi insinyur. Namun, belakangan, ia menganggap nilai pelajaran eksaktanya tidak memadai -- cuma tujuh. ''Meskipun dengan nilai itu saya sudah nomor satu di kelas. Mau saya, delapan atau sembilan,'' kata Darpo.

Lalu, dalam masa liburan besar, anak Jawa kelahiran Pangkalansusu, Sumatera Utara, ini pergi ke rumah kakaknya yang menjadi dokter di Majalengka, Jawa Barat. Darpo, yang masih meraba-raba akan masa depannya, segera terkesan akan profesi sang kakak yang dinilainya memiliki kebebasan tertentu. Maka, begitu lulus AMS, 1940, ia masuk fakultas kedokteran. Tetapi serbuan bala tentara Jepang ke Indonesia membuyarkan cita- citanya itu.

Dalam kunjungannya ke Majalengka, ia berkenalan dengan seorang pedagang keturunan India, Abdul Wahid, yang kebetulan pasien langganan kakaknya. Belakangan mereka bersahabat. Darpo, yang pada awal masa Kemerdekaan RI bekerja di Departemen Penerangan, menitipkan uang tabungannya kepada Wahid. Sepulangnya dari Amerika, jumlah uangnya sudah bertambah. Bersama uang simpanan lainnya, jumlah uangnya menjadi Rp 100 ribu. ''Itulah modal awal saya,'' kata Soedarpo yang memulai berusaha dengan mendirikan NVPD Soedarpo Corporation. Ia bergerak di bidang perdagangan kertas dan alat-alat perkantoran. Salah satu langganannya adalah surat kabar Pedoman.

Pada 1953, Soedarpo mendapat tawaran kerja sama dari Ishmian Lines, perusahaan pelayaran dan angkutan milik US Steel, AS, untuk mendirikan agen pelayaran di Indonesia. Maka, berdirilah PT International Shipping and Transport Agency (ISTA). Perusahaan ini berkembang pesat.

Pada 1956, seiring dengan dilarangnya orang asing mengusahakan ekspedisi muatan kapal laut (EMKL), ia membeli sebuah perusahaan EMKL milik Belanda, Stroo Hoeden Veem (SHV). Tahun-tahun berikutnya, pada saat gencar-gencarnya kampanye Manipol-Usdek, usaha Soedarpo menurun. Waktu itu, menurut dia, kegiatan usaha dikuasai negara, sedangkan ''swasta dianggap tidak ada''.

Baru 1963, dunia pelayaran mendapat angin kembali dengan lahirnya gagasan Presiden Soeharto untuk menjadikan Indonesia bangsa bahari. Tahun berikutnya, Darpo mendirikan PT Samudera Indonesia (SI), dengan mengandalkan kapal-kapal sewa. Namun, kegiatan usaha di sekitar tahun 1965 semakin tidak menentu. Baru setelah Orde Baru berkuasa, SI berhasil memiliki 11 kapal -- lima di antaranya dijual kembali, karena menyewa kapal dianggapnya lebih murah dibandingkan jumlah yang harus dikeluarkannya untuk perbaikan dan perawatan.

Ia kini memimpin 21 perusahaan, pada 13 perusahaan di antaranya sebagai direktur utama. Dari semua perusahaan itu, Soedarpo mengaku lebih aktif di PT Samudera Indonesia dan NVPD Soedarpo Corporation itu. Namun, dalam masa resesi ini, usahanya di bidang farmasi paling kurang menerima pengaruh kelesuan ekonomi. ''Orang 'kan tidak bisa memilih kapan dia sakit,'' ujar Soedarpo. Di sektor ini, sampai Mei 1985, ia meraih omset Rp 1,6 milyar per bulan.

Istrinya, Minarsih Wiranatakusuma. Mereka dianugerahi tiga anak perempuan. Yang tertua, Shanti Lakminingsih, disiapkan untuk menempati kedudukan ayahnya. ''Semua anak saya perempuan, sedang cucu saya laki-laki. Bermain dengan mereka, membuat saya bahagia luar biasa,'' ujar pria pengagum tokoh wayang Bima itu. (pdat.co.id)

Biografi Soedarpo Sastrosatomo Diluncurkan
Jakarta, Kompas. Telah terbit sebuah buku biografi yang selain mengungkap perjalanan hidup Soedarpo Sastrosatomo juga berisi kesaksian tentang Indonesia Merdeka. Banyak hal yang baru pertama kali ini diketahui terjadi dalam kehidupan bangsa Indonesia pada zaman penjajahan sampai zaman kemerdekaan, baik melalui penuturan sang tokoh, saudara-saudaranya, maupun kawan-kawan seangkatannya. Ada bagian-bagian yang menunjukkan perbedaan pendapat adalah bagian dari demokrasi, misalnya bagaimana Bung Karno melayani diskusi dan perdebatan tentang sikapnya yang tunduk pada tekanan penguasa Jepang.

Buku yang ditulis oleh wartawan kawakan H Rosihan Anwar itu berjudul Soedarpo Sastrosatomo - Suatu Biografi 1920-2001 Bertumbuh Melawan Arus, diluncurkan Rabu (28/3) malam. Penerbitnya adalah Pusat Dokumentasi Guntur 49 yang dipimpin oleh Murdianto setelah Soebadio Sastrosatomo alias Kiyuk, wafat. 7 Desember 1998. Soebadio adalah kakak kandung Soedarpo (anak nomor enam) yang juga tangan kanan dan penyambung lidah pemikiran dan ucapan tokoh sosialis Sutan Sjahrir. Soedarpo adalah seorang pejuang, mantan diplomat, pengusaha sukses yang dikenal sebagai "Raja Kapal Indonesia", mantan atlet, dan lain-lain. Ia juga dikenal sebagai tokoh yang peduli terhadap sesama dan aktif dalam organisasi Rotary Indonesia.

Acara peluncuran yang berlangsung penuh kemegahan itu mendapat perhatian undangan yang memenuhi ruangan yang sangat luas, dilaksanakan bertepatan dengan syukuran HUT ke-54 perkawinan Minarsih Wiranatakoesoemah (Mien) dengan Soedarpo. Bedah buku disampaikan oleh tokoh-tokoh yang dekat dengan profesi tulis-menulis, yaitu Ramadhan KH dan Dr Ashadi Siregar, dipandu oleh wartawan senior Sabam Siagian.

Soedarpo Sastrosatomo dilahirkan tanggal 30 Juni 1920 di Pangkalansusu (Sumut), yang waktu itu merupakan pelabuhan Hindia Belanda untuk mengekspor minyak bumi. Pangkalansusu terletak di perbatasan dengan Aceh sehingga ia suka mengatakan "Aku anak Aceh". Ia anak ketujuh dari sembilan orang bersaudara buah perkawinan Mas Sadeli Sastrosatomo dengan Rd Ngt Sarminah. Kedua orangtuanya semula bermukim di Desa Jatinom dekat Klaten (Jateng) sebagai guru yang kemudian pindah ke Tanah Deli setelah berganti profesi menjadi ambtenaar Opiumregie (pegawai perusahaan yang memegang monopoli penjualan dan distribusi opium).

Bagaimana semangat seorang pejuang dan jiwa nasionalis melekat pada sikap dan perbuatan Soedarpo? Ketika ia masih bocah diajak oleh Soebadio menghadiri acara perpisahan di Taman Siswa Pada tanggal 31 Agustus (tahun tidak disebut-Red). Kawan-kawan Soebadio meminta Soedarpo menyanyi.

"Oleh karena hari itu bertepatan dengan ulang tahun Ratu Belanda Wilhelmina, saya menyanyi Wilhelmus," ujar Soedarpo. Hadirin tersentak, mereka heran seorang bocah mampu mengumandangkan lagu berbahasa Belanda dengan fasih. Mereka bukan kagum melainkan gemas. Pasalnya, murid-murid Taman Siswa ditempa untuk menjadi nasionalis. Kumandang lagu kebangsaan merupakan sesuatu yang mengganggu, apalagi telah berkumandang Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Dari saat itulah timbul semangat nasionalisme dalam diri Soedarpo, dan pada Jepang ia ikut memberontak. (iie)





26. Sasongko Soedarjo (1948-2007)
Pemimpin yang Mengenal Bawahan
Sasongko Soedarjo yang akrab dipanggil Koko, seorang pemimpin yang mengenal bawahan. Komisaris PT Media Interaksi Utama (PT MIU) penerbit Suara Pembaruan dan Presiden Komisaris PT Radio Pelita Kasih (RPK), kelahiran Solo, 24 Juli 1948, itu meninggal dunia di Jakarta 30 Agustus 2007 akibat serangan jantung.
Anggota Dewan Redaksi Suara Pembaruan, Presiden Komisaris PT Sinar Kasih, Komisaris PT Higina Alhadin (penerbit Kosmopolitan), pengurus Serikat Penerbit Suratkabar (SPS), Presiden Direktur Medikaloka Health Center, dan Pengurus Ikatan Olahraga Dansa Indonesia (IODI), itu dikenal sebagai pribadi yang hangat dan mudah akrab. Sasongko meninggal karena serangan jantung selepas bermain tenis di lapangan tenis di Kompleks Suara Pembaruan. Ia sempat dilarikan ke RS UKI, namun tidak tertolong.

"Selepas bermain tenis, ia sempat mengeluh sakit dada. Kemudian merasa sesak napas," kata Yati Tulus, Manajer Umum RPK, yang menemaninya saat-saat terakhir. Dikenal sebagai sosok yang rajin berolahraga, tidak merokok, kepergiannya yang tiba-tiba itu mengejutkan semua yang ditinggalkannya. "Begitu masuk kantor di pagi hari (Kamis, 30/8/2007) ia sempat bertanya-tanya, mengapa banyak orang memakai baju hitam hari ini. Pukul tiga, ketika beranjak ke lapangan tenis, ia sempat mengajak ngobrol soal kenaikan tarif tol JORR," kata Maria Pieterz, Sekretaris Direksi PT MIU.
Keluarga terdekat, para direktur koleganya, berbaur dengan karyawannya, bekas karyawannya, dari berbagai lapisan, termasuk sopir dan pesuruh. Semua terkejut, dan semua merasa kehilangan. sekaligus , Tak mengherankan, ketika ia berpulang Kamis (30/8/2007) sore, berbagai lapisan orang, berbagai latar belakang orang, langsung berdatangan ke Ruang Gawat Darurat Rumah Sakit Fakultas Kedokteran UKI, di Cawang, Jakarta Timur, tempat jenazahnya disemayamkan sementara. Sekitar setengah delapan malam, jenazahnya disemayamkan di Rumah Duka RSPAD Gatot Subroto, Jakarta Pusat.

Rapat Pagi
Awalnya, terutama bagi sebagian besar wartawan, ia terkesan sebagai sosok pemimpin yang jarang tersenyum, apalagi tertawa. Kalaupun berpapasan, ia hanya tersenyum tipis. Dan, singkat. Ternyata hal itu karena masalah kebiasaan saja. Kesan itu segera hilang ketika mulai mengenal akrab. Terkenal di lingkungan Sinar Group sebagai orang yang datang paling pagi di kantor, acap paling pagi pula ia ketika masih terjun langsung menangani keredaksian memasuki ruang rapat, untuk mengikuti rapat redaksi pagi, pukul 07.00 WIB. Pada kesempatan seperti itu, masing-masing redaktur penanggung jawab mempresentasikan berita dan tulisan yang akan dimuat hari itu. Proses budgeting seperti itu, acap berlangsung sangat serius dan hening.

Namun, ternyata Koko tidak seserius yang ditampakkannya pada kesan awal perjumpaan. Keheningan rapat pun mulai pecah. Itu terjadi ketika Wolas Krenak, yang saat itu menjadi Redaktur Desk Hiburan, membacakan proyeksi. Saat membacakan resensi sinetron Di Sini Ada Setan, dan S Nuke Ernawati, Redaktur Kesra yang dikenal sebagai "komentator", langsung menyeletuk, "Di sini juga ada," sontak membuat tawa Koko meledak. "Ya, setan ada di mana-mana," katanya, sambil mengomentari sejumlah judul sinetron dan film Indonesia.

Rapat pagi, yang dilengkapi sajian kue serta minuman hangat, memang banyak menyimpan kenangan manis, hangat, dan akrab dengannya. Nuke, acap menjadi "referensi" bagi Koko untuk mengetahui kue yang disajikan enak atau tidak.

Dan, itu pula yang terjadi ketika suatu saat onde-onde menjadi sajian rapat. Onde-onde yang sungguh menggugah selera. Bulat sempurna, besar, dengan wijen melekat erat di seluruh permukaan. Di tengah pembacaan proyeksi berita yang berlangsung serius, tiba-tiba ia memecahkan keheningan, "Nuk, kenapa itu onde-ondenya tidak dimakan semua?" Walau menyimak semua pembicaraan dalam rapat, Koko ternyata tak mengendurkan perhatiannya ke sekeliling. Termasuk mengamati aksi Nuke melubangi onde-onde, memakan hanya isinya, dan menelungkupkan kembali onde-onde di tisu di depannya seolah masih utuh.

Tak Berubah
Rapi, teliti, dan memperhatikan hal-hal kecil yang acap terlewatkan banyak orang, adalah kesan lain tentangnya. Kebiasaan yang tak mengendur walau sudah melepas sebagian besar aktivitasnya memimpin langsung Suara Pembaruan. Ia terus mengikuti perkembangan berita, ia terus mengikuti denyut nadi kehidupan dan pergulatan redaksi.

Ia tetap datang paling pagi, pada saat karyawan belum datang. Tetap ikut "repot" jika pendingin ruangan di kantor mengalami gangguan, bahkan "cerewet" kalau melihat lantai kantor kotor. Jika tidak ada halangan, ia menghadiri perhelatan pernikahan karyawannya, atau hajatan karyawannya. "Kalau tidak bisa hadir, ia menitip amplop," kata Titi Juliasih Kardjono, rekan kerjanya. Ia acap kali menjadi orang nomor satu yang hadir jika ada kedukaan yang menyangkut karyawan, bahkan pensiunan. Ia meluangkan waktu mengunjungi karyawan yang sakit.

Ia tidak pernah pilih-pilih. Ia mengenal bawahannya. Bukan hanya mengenal muka, tetapi selalu tak lupa menyebut nama. Sangat manusiawi, adalah kesan yang muncul jika menanya sebagian besar anggota Keluarga Sinar Group tentang pribadinya. Ia pun tak mengubah kebiasaannya memberi semangat anggota Keluarga Sinar Group dengan caranya sendiri. Ia memanggil wartawan yang karyanya menarik perhatiannya, dan mengajaknya berbincang. Ia "menegur" wartawan yang salah menuliskan istilah, nama, atau jabatan sese- orang, dengan memberi catatan dilengkapi tanda tangan di bawah catatannya. Ia bukan pula orang yang memaksakan kehendak. Ketika koleganya mengirimkan artikel dan redaktur penanggung jawab opini menilai tidak laik muat, ia menerima argumentasi si redaktur. Ia bahkan membantu memberitahu sang kolega.


Dunia Pers
Koko adalah putra tertua pasangan Soekini dan Soedarjo almarhum, Presiden Komisaris PT Sinar Kasih yang menerbitkan Sinar Harapan (kemudian diberedel pemerintah dan menjadi Suara Pembaruan) dan Mutiara, 1983-2000, Presiden Direktur sekaligus Pemimpin Perusahaan PT Media Interaksi Utama, perusahaan yang menerbitkan Suara Pembaruan 1987-1998, Direktur PT Sinar Agape Press, 1973-1998, Komisaris PT Sitra Express, 1978-2001, dan Komisaris PT Pustaka Sinar Harapan, 1981-2000. Ia kakak Soetikno Soedarjo, Direktur Utama PT Mugi Rekso Abadi (MRA) Group.

Selepas meraih gelar master of business administration dari University of San Francisco, California, AS, pada 1973, Koko berkarya di PT Union Carbide Indonesia, sampai 1978. Namun, ia kemudian mengikuti jejak ayahnya berkarya di bidang pers. Ia menjadi Manajer Sirkulasi PT Sinar Kasih, bertanggung jawab atas peredaran surat kabar Sinar Harapan. Hanya satu tahun, ia mencoba berkarier di perusahaan lain, di antaranya bidang perdagangan. Rupanya, ia tidak bisa meninggalkan dunia pers. Ia kembali ke lingkungan Sinar Group, menjadi Direktur Keuangan PT MIU sejak Oktober 1987, dan kemudian Presiden Direktur PT MIU sekaligus Pemimpin Umum Suara Pembaruan sejak 2001-2007. Ia melepaskan jabatan itu pada Januari 2007.

Beberapa hari belakangan ini, Koko sedang sibuk mempersiapkan pernikahan putranya, Alvin Darlanika Soedarjo, yang mengikuti jejaknya berkarya di dunia pers. Alvin, wartawan The Jakarta Post, melangsungkan pernikahan pada 8 September mendatang. Koko tak berpangku tangan, ikut sibuk mempersiapkan segala macam, termasuk mengurusi undangan. Mempersunting Jeanne Lotje Augustine, Koko dikaruniai tiga anak laki-laki, Alvin (28), Rendy Diego Soedarjo (26), dan Garibaldi Nataniel Soedarjo (11). Pada Kamis siang sebelum meninggal, ia sempat menelepon Pdt Dr Sutarno, anggota Dewan Redaksi Suara Pembaruan yang menetap di Salatiga, Jawa Tengah, untuk menanyakan apakah sudah menerima undangan itu dan menanyakan kesediaan untuk hadir.

"Karena pada saat bersamaan saya harus berkhotbah di Yogyakarta, Pak Koko maklum, dan minta doa restu," kata Sutarno, yang juga mantan Pemimpin redaksi Suara Pembaruan. Di sela-sela kesibukannya itu, ia masih sempat memikirkan tanggung jawabnya. Pada Selasa (28/8), misalnya, ia tiba-tiba berpesan kepada Titi Juliasih, "Jaga Sinar Kasih (PT Sinar Kasih, Red)." Kepada Yati Tulus, dalam percakapan terakhir, ia sempat berkata, "Semoga tidak ada apa-apa sampai pernikahan Alvin nanti." Namun, Tuhan berkehendak lain. Kini, tak terdengar lagi suara denting piano di pagi hari di salah satu ruangan di Gedung PT Sinar Kasih. Koko, yang rajin datang pagi-pagi benar di kantor, acap memulai hari-harinya dengan bermain piano.

Tak Keluarga besar di Sinar Group kehilangan pribadi yang hangat dan akrab. Ia akan dimakamkan Sabtu (1/9), di Taman Pemakaman Umum Petamburan. Selamat jalan, Pak Koko... [Suara Pembaruan, 31 Agustus 2007] terdengar lagi sapaannya kepada semua karyawan yang ditemuinya. Siapa pun ia. Tak terlihat lagi kendaraan pribadi bernomor polisi B 247 SS, di tempat parkir, seperti biasa.

27. Soeryo Goeritno
Pengusaha di Balik Tinju
Dia berpenampilan unik sekaligus nyentrik. Bicaranya lugas. Sepintas tidak banyak orang menduga bahwa Soeryo Goeritno seorang pengusaha yang rela mengeluarkan uang Rp 1,5 miliar dari koceknya sendiri untuk menggelar sebuah pertandingan tinju. Dia memang seorang pecinta olahraga tinju.
Pakaian pria kelahiran 30 Januari 1943, ini didominasi bahan denim dengan kemeja bermotif kotak-kotak atau divariasikan dengan kaus katun. Rambutnya panjang sebahu, berwarna keperakan.
Soeryo menjadi promotor pertandingan juara dunia kelas terbang mini IBF asal Indonesia, Muhammad Rachman, melawan Benjie Sorolla dari Filipina pada 23 Desember 2006 di Jakarta. Kakek dua cucu inilah yang membiayai seluruh pertandingan tanpa bantuan sponsor.
"Saya cinta olahraga tinju. Bukan baru sekarang, dari dulu sudah begitu," ujar Soeryo saat perayaan ulang tahunnya yang ke-64, 30 Januari 2007.
Tahun 1985, ketika Ellyas Pical menjadi juara dunia tinju pertama dari Indonesia, nama yang meroket adalah promotor Boy Bolang. Padahal, di belakang layar, pria yang fasih berbahasa Rusia dan Inggris inilah yang menyokong dana.
Saat disebutkan kondisi tinju amatir Indonesia saat ini lebih parah daripada tinju profesional, Soeryo langsung bertanya apa yang dapat dia perbuat. "Beri tahu apa yang dapat saya bantu? Apakah saya boleh membawa pelatih tinju dari Kazakhstan atau Uzbekistan bersama beberapa petinjunya untuk menjadi lawan sparring atlet-atlet Indonesia?" katanya.
Kecintaan Soeryo terhadap tinju merupakan cerminan watak dan pribadinya sehari-hari yang menyenangi unsur tantangan dan ketegangan. Bisnis yang digelutinya didominasi oleh unsur-unsur tantangan dan ketegangan.
"Tinju merupakan olahraga keras yang mengandung ketegangan. Saya senang tantangan yang memicu adrenalin. Buat saya, adrenalin harus tetap mengalir. Tanpa adrenalin, saya tidur. Bisnis saya juga mengandung banyak ketegangan dan sampai saat ini mudah-mudahan saya masih mampu berhasil mengatasinya. Saya justru heran mengapa tidak dapat bekerja pada jenis-jenis pekerjaan seperti orang-orang kebanyakan," ujarnya.
Dari bawah
Soeryo yang berasal dari keluarga kelas menengah menamatkan sekolah di Indonesia. Tahun 1964 dia mendapat kesempatan beasiswa belajar geologi di salah satu universitas di Moskwa, Uni Soviet.
Belum lama kuliah di Moskwa, terjadi perubahan besar politik di Tanah Air. Kuliahnya sempat molor, tetapi bukan karena aliran dana terputus. Hobi musik yang dia salurkan lewat band Equator—dibentuknya bersama mahasiswa Indonesia lain—membuatnya sering bolos kuliah untuk menyalurkan hobi sekaligus mencari duit. "Sewaktu mahasiswa dulu, saya itu senang. Duit banyak, ke mana-mana naik taksi di Moskwa," tuturnya sambil tertawa mengenang masa muda.
Pribadinya yang ramah dan supel membuat Soeryo dikenal berbagai kalangan di Moskwa. Banyak gadis dikenalnya, tetapi pilihan jatuh kepada dara cantik Lyudmila Alexandrovna yang kemudian dia nikahi sampai sekarang. Tahun 1971, Soeryo kembali ke Tanah Air. Namun, status eks mahasiswa Uni Soviet membuat dia terlibat kesulitan serius. Hanya tiga bulan Soeryo bekerja di Lembaga Minyak dan Gas (Lemigas), setelah itu dia menggelandang di Jakarta.
Soeryo bekerja serabutan. Mula-mula menjadi sopir taksi. Malam hari mangkal di lokasi hiburan malam. Pagi-pagi sudah mangkal di Stasiun Gambir menunggu kereta api dari Surabaya. Tahun 1973, Soeryo mengurus vila milik saudaranya di kawasan Puncak. Di sana, dia tidak diam. Sore hari membeli sayur-sayuran di Cianjur, lalu malamnya membawa ke Pasar Senen, Jakarta. Anak saya Novi (Pervanovana) waktu itu sudah lahir," tutur Soeryo.
Lepas berdagang sayur, Soeryo diajak temannya bekerja sebagai kontraktor sipil. Meski berlatar belakang pertambangan, pekerjaan sipil dijalaninya cukup sukses. Baru pada tahun 1980 hidupnya berubah. Ketika Presiden Soeharto membuka hubungan kembali dengan Uni Soviet, Soeryo dilibatkan.
Saat ini Soeryo membina hubungan baik dengan angkatan bersenjata negeri ini. Pengetahuannya yang mendalam di bidang persenjataan dan pertahanan membuatnya duduk di lembaga Pusat Kajian Pertahanan dan Keamanan (CSDS) di Jakarta.
Ketika Indonesia dilanda kabut asap akibat kebakaran hutan akhir 2006, Soeryo mendapat kepercayaan memadamkannya. Dia terjun langsung memimpin pemadaman di Kalimantan dan Sumatera. Dari berbagai bisnis yang dia geluti, Soeryo selalu menyisihkan sebagian keuntungan buat tujuan sosial. Bagian dari keuntungan itulah yang kemudian disalurkan ke bidang olahraga dan sosial lain.
Di mata anaknya, Novi, Soeryo bukan lagi menjadi bapak, tetapi sudah menjadi teman. Novi mengatakan, bapaknya tidak mampu berpisah lama dengan keluarga. Sewaktu masih kecil, jika harus melakukan perjalanan bisnis dalam waktu relatif lama, Soeryo pasti memboyong seluruh keluarganya.
"Setiap Sabtu, Papa pasti datang ke rumah saya untuk melihat cucu atau berkaraoke bersama kami," ungkap Novi yang memberi dua cucu buat Soeryo. (Syahnan Rangkuti, Kompas 10 Februari 2007)


28. Soedarjo
Pengusaha Dermawan dan Bersahaja

Pengusaha dan tokoh pers nasional, Soedarjo, meninggal dunia di kediamannya Jalan Wijaya 1/67, Jakarta Selatan, dalam usia 83 tahun, Rabu 18 Januari 2006, pukul 16.05. Mantan Pemimpin Umum Harian Suara Pembaruan kelahiran Jakarta 19 Desember 1922, itu dikenal sebagai sosok pengusaha yang dermawan dan bersahaja.
Penganut agama Kristen berdarah Jawa-Sunda-Betawi, yang akrab dipanggil Pak Darjo, itu meninggalkan seorang istri, Soekini (78), lima putra, dua putri, dan 19 cucu. Setelah dilakukan kebaktian di rumah kediaman Jalan Wijaya 1/67, Jakarta Selatan, sekitar pukul 20 (18/1), kemudian jenazah almarhum disemayamkan di rumah putri tertua Sudarniati Soedajo, Jalan Brawijaya II No 18 Kebayoran Baru Jakarta Selatan dan di Gereja Kristen Indonesia, Jalan Panglima Polim, Jakarta Selatan. Kemudian dimakamkan Jumat 20 Januari 2006 pukul 11.00 di Taman Pemakaman Umum Jati Petamburan.
Mantan Presiden Direktur PT Media Interaksi Utama, penerbit Suara Pembaruan, itu pernah mengecap pendidikan HIS, AMS, dan pendidikan khusus perkeretaapian untuk menjadi kepala stasiun, dan sempat kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia sampai 1951.
Putera bangsa kelahiran Jakarta, 19 Desember 1922 dari pasangan Soerjadi dan Atmawati, itu mengawali kariernya di perusahaan kereta api pada masa penjajahan Belanda. Dia pun menyelesaikan pendidikan khusus perkeretaapian. Saat pendidikan menjadi kepala stasiun kereta api, itu Soedarjo mengasah kemahiran berbahasa Belanda dan berbahasa Inggris. Keahlian dan kemahiran berbahasa Belanda dan Inggris itu mengantarnya untuk menggantikan orang Belanda memimpin stasiun kereta api Bogor, pada usia 26 tahun. Setelah itu, dia pun memimpin stasiun kereta api di Sukabumi dan di Jakarta, pada zaman pendudukan Belanda.

Soedarjo juga berkesempatan memimpin Kereta Api Kepresidenan RI. Ketika itu, pada suatu malam hari di akhir Desember 1945, dia ikut dalam usaha penyelamatan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden M Hatta serta sejumlah menteri dari Jakarta ke Yogyakarta, setelah Jakarta dianggap tidak aman bagi para pemimpin RI.

Bersama teman-temannya, dia melangsir mundur gerbong-gerbong kereta api dari Stasiun Manggarai, untuk dihentikan tepat di belakang rumah Presiden Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur (sekarang Gedung Pola). Bung Karno dan para pemimpin Republik Indonesia yang baru diproklamasikan itu naik ke gerbong, dan kemudian dilarikan ke Yogyakarta. Semua dilaksanakan dengan hati-hati, tanpa lampu, agar tidak ketahuan Pasukan Sekutu! Atas jasa itu, pemerintah menganugerahi Satya Lencana Wirakarya sebagai pejuang (1944-1952). Namun, dalam usia 30 tahun, dia meninggalkan jabatan yang sangat terhormat untuk pribumi kala itu. Sejak 1952, dia memilih menapaki perjalanan hidup dalam dunia bisnis. Dia memulai usaha sebagai broker karet. Kemudian merambah ke bisnis kopi. Bahkan tiga tahun kemudian, dia sudah mengikuti kegiatan bursa lelang di Jerman dan Belanda.
Perusahaannya pun makin berkembang hingga menangani berbagai bidang, yakni ekspor, impor, industri, pertanian dan perkebunan, asuransi, industri pers, perbankan, dan industri farmasi. Di antaranya mengelola perkebunan karet Tigaraksa di Balaraja. Tahun 1954 mendirikan PT Indonesia Brokers Association Jakarta. Ketua Yayasan Universitas Kristen Indonesia dan Ketua Yayasan Rumah Sakit PGI Cikini, itu meraih sukses dalam bisnis tanpa mendapat fasilitas khusus apa pun dari pemerintah. Sehingga dia dijuluki "pejuang pengusaha dan pengusaha pejuang".

Seraya tetap menggeluti bisnisnya di berbagai bidang termasuk perkebunan yang berlokasi di Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, dan Jawa Timur, Soedarjo mulai terjun ke usaha penerbitan, pada 1977, atas ajakan HG Rorimpandey (almarhum) dan teman-temannya. Bergabung di Harian Sinar Harapan dan mendirikan percetakan PT Sinar Agape Pers.
Dia menjabat Presiden Komisaris PT Sinar Kasih, yang menerbitkan Sinar Harapan (diberangus pemerintah Oktober 1986), Mutiara, 1983 - 2000 serta komisaris di PT Sinar Agape Press (percetakan untuk harian Sinar Harapan) 1971-1977. Juga menjabat Komisaris PT Sitra Express, 1978 - 2001, dan Komisaris PT Pustaka Sinar Harapan, 1981 - 2000.
Kemudian 1987 - 1998 menjabat Presiden Direktur PT Media Interaksi Utama, penerbit Suara Pembaruan, pengganti Sinar Harapan, sekaligus menjabat Pemimpin Perusahaan koran sore tersebut. Juga menjadi Presiden Komisaris PT Radio Pelita Kasih.
Kendati kesibukannya di dunia usaha pers, Soedarjo tetap aktif mengembangkan usahanya di bidang perkebunan, perkapalan, perbankan, serta pernah beberapa kali memimpin Rumah Sakit PGI Cikini, dan Yayasan Universitas Kristen Indonesia. Sebagai importir dia yang memperkenalkan mesin-mesin percetakan untuk koran Solna Printing. Soedarjo menekuni dunia pers sampai akhir hayatnya.
Kebahagiaan Keluarga
Soedarjo juga dikenal sebagai kepala rumah tangga yang sukses memimpin keluarga. Anak-anaknya berhasil menyelesaikan pendidikan, dan sebagian mengikuti jejaknya menjadi pengusaha. Dari ketujuh anaknya (lima pria dan dua perempuan), Soedarjo dikaruniai 19 cucu. Pada hari tuanya, cucu-cucunya menjadi salah satu kebanggaan dan kebahagiaan tersendiri baginya. Kepada cucunya, dia menerapkan pendidikan dan bimbingan yang pernah ia terima dari kakeknya, seorang guru jemaat di GKI Kwitang, Jakarta Pusat.

Di kalangan aktivis gerakan oikoumene, Soedarjo dikenal sebagai dermawan, donator, yang tak segan mengulurkan tenaga, waktu dan dana. Ia memberikan perhatian kepada semua kalangan, tanpa pernah membedakan latar belakangnya.

Soedarjo pernah menjabat Ketua Panti Jompo Doorkas, Ketua Yayasan Universitas Kristen Indonesia (UKI). Ia aktif dalam proyek pembangunan gereja, khususnya GKI Kebayoran Baru Jalan Panglima Polim, Jakarta Selatan. Hingga akhir hayatnya, Soedarjo tercatat sebagai Ketua Yayasan Kesehatan PGI Cikini, yang dijabatnya sejak 1983. Soedarjo bekerja di ladang Tuhan hingga akhir hayat. Suatu doa yang dia panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kasih sejak lama, selain pengucapan syukur yang tiada berkeputusan, dan dikabulkanNya.

Kisah Sang Dermawan
Harian Suara Pembaruan pada penerbitan Kamis 19 Januari 2006 menyajikan sepenggal kisah tentang kelembutan, kebersahajaan dan kedermawanan Soedarjo. Kisahnya tentang seorang sopir truk, yang mungkin mengantuk, telah menabrak pagar rumah di Jalan Wijaya I, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Hari masih pagi benar. Saat itu, arus lalu lintas belum sepadat sekarang. Bunyi tabrakan bukan membuat satpam di rumah itu keluar. Warga sekitar pun berdatangan. Sementara si sopir turun, dan berniat bertemu si pemilik rumah. Terbayang sudah, dia harus mengganti kerusakan pagar akibat kecerobohannya. Tak terkira jumlah uang yang harus dibayar dari gajinya yang tak seberapa. Maklum, si sopir tak menyadari berurusan dengan siapa. Meskipun tak kenal, dia yakin pemilik rumah di jalan Wijaya itu pasti bukan orang sembarangan. Tak ayal lagi, saat bertemu muka, sopir truk langsung memeluk kaki sang pemilik rumah.

Dengan wajah memelas, sopir itu mengiba maaf. Sedetik, dua detik, tak ada sumpah serapah. Tak ada caci maki. Empunya rumah, malah bertutur halus, menanyakan asal-usul si sopir, arah tujuannya, dan pertanyaan-pertanyaan sepele lain. Alih-alih terkena marah, si sopir bahkan disuguhi air minum hangat. Bahkan sarapan! Lebih mengagetkan lagi, si empunya rumah memberinya amplop berisi uang, untuk memperbaiki moncong truknya yang rusak akibat menyeruduk pagar tembok itu.

Kisah sopir truk hanya salah satu banyak kisah kedermawanannya. Masih banyak kisah yang lain, yang tak sampai di telinga orang. Soedarjo memang identik dengan kedermawanan. Bagi anggota keluarga Sinar Group, Soedarjo, yang akrab dipanggil Pak Darjo, memang dikenal dan akan terus dikenang sebagai pribadi yang sangat kebapakan, welas asih, sabar, dan penuh perhatian.

Menurut Julia Yewangoe dan Joyce Tampemawa, sekretaris yang lama melayani Soedarjo di PT Sinar Agape Press, "Bantuan yang diberikan bukan hanya terbatas pada kalangan yang dikenal atau akrab dengan beliau, tetapi juga kepada orang yang belum atau tidak beliau kenal. Setiap menjelang Natal, surat-surat permohonan dari seluruh Indonesia memenuhi meja beliau. Dan, boleh dikata semuanya dijawab dan disumbang oleh beliau, sampai-sampai kami layaknya kantor sosial saja yang menyalurkan sumbangan."
Permohonan bantuan terus datang, bahkan sampai Soedarjo pensiun. Uniknya, permohonan itu masih dilayani. Walaupun pernah diingatkan tentang benar tidaknya pemohon sungguh-sungguh memerlukan sumbangan itu, Soedarjo tetap melayaninya. "Benar atau tidak, biar saja, itu urusannya dengan Tuhan," kata Julia maupun Joyce menambahkan. Dalam setiap kesempatan, Soedarjo memang menekankan kejujuran kepada karyawannya.

"Perhatiannya kepada karyawan sangat besar. Setiap bepergian ke luar negeri, tak usah jauh-jauh, ke Singapura pun, selalu membawakan oleh-oleh. Bahkan sepotong cokelat pun, selalu ada, dan selalu dibagi rata," kata Ria Losung, sekretaris direksi di lingkungan Sinar Group yang juga lama bekerja sama dengan Soedarjo. Ria menambahkan, beruntung atau tidak, ia mungkin satu-satunya orang yang pernah melihat dan mendapati Soedarjo marah. "Baru sekali itu saya melihat wajahnya memerah menahan marah.

Beliau mengeluarkan unek-unek, lebih sebagai keluhan daripada makian. Itu terjadi ketika beliau terlibat dalam perjuangan yang memakan waktu, tenaga, pikiran, dan dana, untuk menerbitkan kembali koran, setelah Sinar Harapan dibredel pada Oktober 1986," katanya.

29. Soebronto Laras
Personifikasi Suzuki di Indonesia
Subronto Laras, Presiden Direktur PT Indomobil Suzuki Internasional, pengusaha yang membesarkan merek Suzuki di Indonesia. Tangan dingin pria kelahiran Jakarta, 5 Oktober 1943, ini telah membawa produk-produk Suzuki meraih sukses pangsa pasar yang cukup besar di Indonesia. Bahkan tak berlebihan bila disebut dialah personifikasi Suzuki di negeri ini. Namanya identik dengan Suzuki. Suzuki adalah Soebronto Laras. Atau sebaliknya, Subronto Laras adalah Suzuki. Dua nama yang tak terpisahkan. Beberapa jenis otomotif merek Suzuki telah diluncurkannya. Satu yang paling anyar dan merupakan pewujudan impian lamanya, adalah Suzuki APV, kendaraan multiguna (Multi Purpose Vehicle, MPV). Dia selalu bersemangat jika diajak bicara soal impiannya ini. Saat ditanya di sela acara peluncuran buku biografi Soebronto Laras berjudul Meretas Dunia Automotif Indonesia, Minggu (15/5), di Grand Ballroom, Hotel Hilton, mengapa Suzuki APV memakai mesin 1.500 cc dan bukan yang lebih besar dari rata-rata pesaingnya? Dia menjawab bahwa mesin berkapasitas 1.500 cc adalah batasan minimum dari aturan pajak 20 persen. Kalau lebih dari itu maka pajaknya lebih tinggi dan harganya akan lebih mahal. ”Suzuki APV bisa saja memakai mesin 1.600 cc, tapi harganya jadi lebih mahal sepuluh jutaan,” jelas tokoh yang akrab dipanggi Yonto itu.
Soebronto Laras memang dibesrakan dalam keluarga yang menggumuli dunia otomotif. Ayahandanya, R. Moerdowo (almarhum) adalah importir mobil Citroen, Tempo dan Combi sejak 1949. 'Maka sejak kecil dia sudah tertarik kegiatan bengkel,'' ujar perakit motor dan mobil Suzuki itu. Dia mengecap pendidikan SD sampai SLA di SD Perguruan Cikini, Jakarta, 1958, SLP Perguruan Cikini, Jakarta, 1961dan SLA Harapan Kita, Jakarta, 1964. Setamat SLA, Yonto melanjutkan studi rekayasa mesin di Paisley College for Technology, Scotlandia, 1969. Kemudian melanjut ke Hendon College for Business Management, di London, United Kingdom, 1972. Selagi di sanalah ia bergaul akrab denga Roesmin Noerjadin (mantan Menteri Perhubungan), dan Benny Moerdani (mantan Pangab). Sebab, Yonto sempat menjadi staf lokal Atase Pertahanan di KBRI London.
Kembali dari Inggris, 1972, anak kedua dari empat bersaudara ini berkenalan dengan Atang Latief, pemilik Bank Indonesia Raya dan sejumlah kasino (ketika itu). Bahkan Yonto menjadi orang kepercayaan Atang. Ia menjabat Direktur PT First Chemical Industry, yang bergerak dalam bidang formika, alat-alat plastik, dan perakitan kalkulator. Empat tahun kemudian ia menjadi dirut perusahaan perakitan motor mobil Suzuki.''Saya berani karena didukung penuh oleh Pak Atang Latief,'' kata Yonto. Dari sebuah perusahaan yang nyaris bangkrut, kemudian berkembang hingga beromset ratusan milyar kala itu. Kemudian sejak 1981 bisnisnya bertambah kuat dengan masuknya grup Liem Sioe Liong. Pada 1984, ia menjadi Dirut PT National Motors Co. dan PT Unicor Prima Motor, perakit mobil Mazda, Hino, dan sepeda motor Binter.
Pada masa remajanya, Yonto pernah menjadi pembalap motor, bersama antara lain Tinton Soeprapto. Pada hari- hari libur, bersama teman-temannya, ia masih suka menunggang motor Suzuki 1.000 cc ke luar kota. Kalau ada produksi baru hasil rakitan pabrik mobilnya, Yonto tidak pernah absen ikut menguji. Dia menikah dengan Herlia Emmi Yani, putri Almarhum Jenderal Ahmad Yani, dikaruniai dua anak. Yonto menyenangi jogging, tenis, renang, rally, dan bulu tangkis. Ia juga memiliki koleksi sepeda motor dan anjing ras herder dan doberman.

30. Tommy Winata
Bos Grup Artha Graha
Bos Grup Artha Graha, Tomy Winata alias Oe Suat Hong, kelahiran Pontianak, 1958, salah seorang pengusaha sukses di negeri ini. TW, panggilan akrabnya, dikenal akrab dengan kalangan militer. Dia seorang yang ulet, memulai usahanya dari bawah, sejak remaja. Maklum, dia yatim-piatu, miskin. Tapi, kini dia seorang konglomerat yang sukses membangun imperium bisnis di bawah Grup Artha Graha.
Awalnya, 1972, pada usia 15 tahun, seseorang memperkenalkan TW kepada komandan rayon militer di Kecamatan Singkawang, Kalimantan Barat. Kemudian, buah perkenalan itu, TW dipercaya membangun kantor koramil di Singkawang.
Sejak itulah hubungan bisnisnya dengan militer terus berlangsung, terutama dengan beberapa perwira menengah dan tinggi. Dia sering dipercaya mengerjakan proyek, mulai dari membangun barak, sekolah tentara, menyalurkan barang-barang ke markas tentara di Irian Jaya dan di tempat-tempat lain seperti Ujungpandang dan Ambon.

Keuletan dan kebersahajaan penampilannya yang jauh dari kesan mewah, perlente, tampaknya membuat mitra bisnisnya lebih mempercayainya. Sehingga dalam waktu sepuluh tahun, TW berhasil mengembangkan imperium bisnisnya. Dia mendirikan PT Danayasa Arthatama (1989). Perusahaan ini, bermitra dengan Yayasan Kartika Eka Paksi, milik Angkatan Darat, membangun proyek raksasa Sudirman Central Business District (SCBD) yang menelan investasi US$ 3,25 miliar, direncanakan rampung 2007.

Di samping bergerak di bidang properti, bisnis TW juga meliputi perdagangan, konstruksi, perhotelan, perbankan, transportasi, dan telekomunikasi. Imperium usahanya sekurangnya terdiri atas 16 perusahaan. Pria berdarah Taiwan ini memiliki sejumlah kapal pesiar dan ikut mengelola usaha pariwisata di Pulau Perantara dan Pulau Matahari di Kepulauan Seribu. Dalam kaitan ini, pada Mei 2000, dalam suatu acara dialog di sebuah stasiun televisi swasta bersama Presiden Abdurrahman Wahid, ditenggarai di kapal pesiar dan Kepulauan Seribu itu ada judi besar-besaran. Sehingga Gus Dur bereaksi: “Tangkap Tomy Winata.”

Tapi, saat pihak aparat, bahkan Komisi B (Bidang Pariwisata) DPRD DKI Jakarta melakukan inspeksi mendadak ke pulau itu, tidak ditemukan bukti sebagaimana yang dituduhkan Gus Dur. Ternyata, Pulau Ayer dikelola Pusat Koperasi TNI Angkatan Laut, bekerjasama dengan PT Global. Namanya sering dikaitkan dengan mafia judi bersandi 'Sembilan Naga' yang beroperasi di berbagai negara, antara lain Indonesia, Malaysia, Singapura, Hong Kong, dan Makao. Namun, sampai sekarang belum ada bukti hukum yang menegaskan bahwa ia adalah raja judi. Bahkan, kepada Majalah Forum, November 2001, TW menegaskan “Sejak dulu dan sampai hari ini, tidak ada bisnis saya yang bergerak di bidang perjudian. Semua usaha saya legal dan resmi.”

Orang-orang di sekitarnya juga malah menyebutnya sebagai "orang baik" yang suka menolong kaum miskin. Sikapnya ramah dan terbuka. Bicaranya lugas, humornya tinggi. Penampilannya jauh dari kesan perlente. Jarang memakai jas dan dasi, laiknya konglomerat. Ayah lima anak ini lebih suka memakai setelan safari lengan pendek berwarna gelap.
Bisnis Benih Padi Hibrida
Belakangan Tommy Winata makin serius menggarap bisnis benih padi hibrida. PT Sumber Alam Sutera (SAS), anak perusahaan kelompok usaha Artha Graha, awal November 2006 menggandeng perusahaan China, Guo Hao Seed Industry Co Ltd. Kongsi ini akan menanamkan US$5 juta untuk membangun Pusat Studi Padi Hibrida (Hybrid Rice Research Center) di Indonesia yang ditargetkan beroperasi April 2007, bekerja sama dengan Badan Penelitian Padi (Balitpa) Departemen Pertanian. Penandatanganan nota kesepahaman terkait kerja sama antara PT SAS, Guo Hao, dan Balitpa, dilangsungkan Senin malam 13/11/2006, disaksikan Mentan Anton Apriyantonoyang dan dihadiri Tommy Winata.

Nota kesepahaman tersebut diteken oleh Presdir Sichuan Guo Hao Seed Industry Co Ltd Jing Fusong, Presdir SAS Babay Chalimi, dan Kepala Balitpa Achmad Suryana. Pembangunan pusat studi padi hibrida ini direncanakan selesai dalam enam bulan ke depan sehingga dapat digunakan untuk mengembangkan sejumlah varietas padi hibrida asal China yang diharapkan bisa meningkatkan produktivitas padi menjadi 8 ton-12 ton per hektare. Presdir SAS Babay Chalimi mengatakan sampai sekarang belum ada pusat penelitian padi hibrida di dalam negeri. Sedangkan China itu sudah sangat berpengalaman di bidang ini. "Kami akan bangun Hybrid Rice Research Center joint dengan China dengan dana investasi awal US$5 juta," kata Babay.